Apakah Aku bisa menjadi seorang ibu?
Sudah lima belas tahun aku menantikan seorang anak. Buah hatiku yang aku sudah nanti-nantikan di tengah-tengah pernikahan ini. Lima belas tahun ini aku dan suami tak henti-hentinya berusaha agar aku dan suami dikaruniakan seorang anak. Melihat saudara-saudaraku yang lainnya bisa mengasuh anak-anaknya, sangatlah menyenangkan. Sebuah keluarga akan terasa sempurna, jika hadirnya seorang anak. Anak akan meramaikan keluarga, akan ada yang menemaniku. Aku akan semangat untuk memasak untuk anak-anakku. Aku akan menjadi seorang ibu bagi anak-anakku, rasanya sangat sempurna jika aku bisa mempunyai anak dan menjadi seorang ibu.
Berkali-kali
aku meminta kepada Allah, aku ingin sekali disempurnakan dengan hadirnya seorang
anak. Aku tidak memilih itu anak perempuan ataupun laki-laki. Aku hanya ingin
ada mereka ditengah-tengah hidupku.
“InshaAllah, pasti ada jalannya” ucap suamiku yang baru saja
shalat berjamaah bersamaku.
Hampir
semua keponakanku aku anggap sebagai anakku sendiri. Setiap hari libur kerja
aku akan menyempatkan untuk berkunjung ke rumah saudaraku dan akan bermain
bersama mereka. Saat main bersama mereka, aku bisa memerankan tugas sebagai
seorang ibu, dan saat aku harus pulang, mereka akan kembali ke Ibu mereka
masing-masing. Dan aku kembali menjadi seorang wanita yang ingin menjadi
seorang ibu.
***
“Assalamualaikum Tante”
“Waalaikumsalam, masuk aja Na”
Hari ini
aku menyuruh salah satu keponakanku untuk menemaniku dirumah selama seminggu.
Dia anak perantauan yang sedang melanjutkan sekolahnya di kampung halamannya. Dia
anak yang pendiam, dan aku berusaha agar dia bisa merasa nyaman tinggal disini.
Lama-kelamaan dia mulai bisa menyesuaikan dirinya, dia mulai bisa berbaur
denganku.
“Nak, kopinya diminum dulu!”
“Iya Tante” ucap Hasna yang sudah siap berangkat kuliah
Senang
rasanya dia bisa nyaman tinggal bersamaku dan suami. Dia bisa beradaptasi
dengan kami, walaupun awalnya canggung, lama-kelamaan Hasna mulai kerasan. Aku
juga sudah menganggapnya sebagai anakku sendiri. Aku semakin bersemangat untuk
memasak, ketika Hasna selalu senang dengan semua masakanku dan akan memujinya.
Esok hari
aku berencana mengajaknya menonton film, sekalian untuk mentraktirnya, karena
kemarin adalah hari pernikahanku dan suami yang ke 15. Tidak kusangka sudah 15
tahun aku lalui sebagai istri, dan belum bisa menyempurnakan pernikahan ini
dengan seorang anak.
“Mau berangkat sekarang Tan?” ajak Hasna yang sudah siap
dengan motornya
“Iya”
Hari ini
juga bertepatan dengan hari ibu. Seandainya aku bisa merayakan hari ini dengan
anakku, pasti dia sudah menyiapkan hadiah-hadiah lucu untukku. Setidaknya bisa
menjadi seorang ibu saja sudah membuatku bersyukur dan tak akan meminta apapun
kepada tuhan.
“…Iya Ma…Iya, lusa Hasna pulang
kok! Selamat Hari Ibu, Ma” ucap Hasana ditelepon. Tadi Hasna sempat izin
sebentar untuk menelpon Mamanya, untuk mengucapkan ‘Selamat Hari Ibu’ untuk
Mamanya. Seandainya ucapan tersebut untukku. Seandainya dia adalah anakku,
betapa beruntungnya diriku mempunyai anak seperti Hasna.
“Wah filmnya seru ya?!”
“Iya. Oh ya tante, aku mau ke kamar mandi bentar ya?” tanya
Hasna yang setelah kuberi izin dia langsung pergi ke kamar mandi.
Sepuluh
menit aku menunggunya dan Hasna belum juga kelihatan. Baru saja aku ingin
menelponnya, dan Hasna sedang berlari ke arahku sambil membawa bungkusan yang
aku tidak tau apa isinya.
“Maaf ya lama. Tadi aku beli ini dulu buat tante” ucap Hasna
sambil mengatur nafasnya
“Ini apa?”
“Selamat Hari Ibu, Tante. Maaf ya cuma kasih kue doang!”
Entah aku
harus senang atau menangis. Aku masih belum bisa menganggap semua momen ini
nyata. Hasna yang mengucapkan kata itu, membuatku merasakan belaian hangat dari
seorang anak. Aku merasakan apa arti ibu itu sebenarnya. Hasna memberikanku
sebuah harapan yang sudah lama aku ragukan “Apa aku pantas menjadi seorang
ibu?” dan Hasna membantu menjawabnya.
“Kata Mama, aku juga suruh ngucapin itu ke Tante. Soalnya
Tante udah jadi ibu kedua Hasna selama merantau disini. Jadi, Selamat Hari Ibu,
dan makasih untuk semua perhatiannya”
Aku tidak
mampu lagi berbicara, Hasna berhasil membungkamku dengan ucapan itu. Aku hanya
berani memeluknya dengan erat dan mengucapkan terima kasih. Karena kini aku merasa
pantas menjadi seorang Ibu.
Komentar