(CERPEN) Pamit
Cerita pendek ini terinspirasi oleh lagu Tulus berjudul
Pamit. Dengan judul yang sama, cerpen ini dibubuhkan lirik-lirik dari lagu
tersebut. Lagu tentang perpisahan ini mengantarkan sepasang kekasih yang
memiliki kisah yang tak bisa dipertahankan. Seberap erat genggaman tersebut,
peredebatan apapun itu akan menuju kata pisah.
Saya menuangkan lagu tersebut kedalam cerita pendek
antara sepasang kekasih yang dihadapkan segala perbedaan yang akhirnya berjung
dengan kata pisah. Walaupun pedih, mereka harus percaya bahwa mereka tetap
teman (hidup) terbaik yang pernah ada di hidup mereka masing-masing.
“Pamit”
“Ijinkan aku pergi dulu. Aku pamit.”
Dua kalimat yang sangat sulit aku
ucapkan. Saking sulitnya, aku menuliskannya dalam selembar kertas dengan semua
perasaan yang ku punya untuknya, dan membiarkan dia terluka karena kisah ini. Sungguh
aku pria paling kejam, karena memilih berhenti menjadi tokoh dalam kisahnya.
Memilih untuk tidak lagi mengenggam tangannya. Memilih untuk mundur. Memilih
untuk keluar dari kisah kami.
***
Lima tahun lalu, saat aku
melihatnya duduk di dalam bis jurusan Malang - Surabaya. Wanita itu duduk dengan diam di bangku belakang sendiri. Dengan kedua telinganya yang tersumbat earphone
dan sedang fokus membaca sebuah novel−yang
akhirnya aku tau setelah menikah, bahwa itu salah satu novel kesukaannya dan
saat itu ia sudah baca selama tiga kali. Rambutnya tergerai berwarna hitam
legam. Kepalanya kadang-kadang bergoyang pelan mengikuti dentuman lagu yang ia
dengarkan. Jari-jarinya secara berkala mengganti halaman demi halaman. Wanita
itu terlihat tenang dengan dunianya, sedangkan aku terpesona dengan dirinya saat itu juga.
Satu bulan pendekatan dan dua tahun setelahnya aku resmi memilikinya sebagai istri. Wanita yang sangat
pengertian, tidak suka dimanja, dan sangat hobi makan masakan Padang. Wanita yang menjadi
tempatku pulang.
“Aku janji sama kamu, aku akan
jagain kamu, mencintai kamu sepenuh hati, dan nggak akan membiarkan kamu
terluka sedikit pun. Aku nggak mau kamu menangis selama hidup sama aku. Kita
akan hidup bahagia dan jadi keluarga yang bahagia.” Itu janjiku dulu
setelah mengucap ijab Kabul.
Kini tubuh kami saling menghadap
mata angin yang berbeda. Kamu menunggu datangnya malam dan aku menanti sang
fajar datang. Aku juga tidak mengerti kenapa kita menjadi berbeda dan jauh.
Kamu ingin aku mengerti dan aku ingin kamu mengerti juga. Berbagai cara aku
coba untuk memperbaiki hubungan ini. Aku ingin kamu kembali menatap mataku
dengan penuh cinta. Aku ingin melihat senyummu, tapi kamu semakin jauh. Kamu
sulit aku raih kembali.
“Kamu tau apa yang kita
perdebatkan selama ini?” Nafasnya masih memburu setelah pertengkaran kami satu
jam yang lalu. “Karena kamu berubah. Karena jika ada satu tokoh pentinga yang
merubah jalan cerita begitu saja, dia akan merusak kisah itu secara perlahan.
Dan selama ini aku mencoba memperbaiki, tapi kamu nggak pernah sadar. Kamu
nggak pernah mengerti.”
***
Sekarang hari-hari itu semakin
terasa dingin. Tidak ada lagi pelukan hangat dari dirimu. Tidak ada lagi ciuman
mesra darimu. Kamu membuatnya malah terasa sulit. Kamu tidak ingin berpisah,
tapi kamu membuat dinding yang tinggi, yang sulit aku panjat hanya untuk mengetahui kamu baik-baik saja. Aku tidak mengerti kamu ini mau apa? kalau kamu hanya menangis setiap kita berselisih. Aku tidak tau harus bagaimana? kalau suatu hari nanti kita memang harus menghentikan kisah ini.
Yang tersisa dari kisah ini
adalah kita hilang arah. Kita sama-sama takut… takut kehilangan satu sama lain.
Kita takut melukai satu sama lain dan tidak bisa lagi mempertahankan kisah yang
seharusnya tidak boleh berakhir.
Percuma kita mempertahankan
genggaman yang hanya sebuah ilusi, bahwa kita akan baik-baik saja. Kisah ini
masih bisa diperbaiki. Percuma dipertahankan, kalau perbedaan ini hanya
berujung dengan kata pisah.
“Aku sudah melanggar janjiku.
Aku selalu buat kamu menangis. Aku minta maaf.” Itu kata-kata terakhirku
sebelum akhirnya ia pergi ke mata angin yang berbeda dan aku menyesal karena
memilih menanti fajar datang.
Kini setelah masa-masa itu. Di
masa aku bahagia bersamamu, melihatmu tersenyum, mendapatkan sebuah ciuman
ketikan pulang. Sampai semua pertengkaran kita. Aku masih tetap mencintaimu
dengan segenap hatiku. Yang berubah hanya kau tak lagi milikku. Dan kamu harus
percaya, kamu tetap teman baikku. Teman (hidup) terbaikku.
Komentar