Forever Brother
“Seni persaudaraan adalah Ketika kau
berhasil membuat adikmu menangis, mengadu pada ibu, lalu berbaikan tidak sampai
sejam kemudian, tanpa perlu kata maaf” Novel ‘Swiss: Little Snow in
Zurich’
Betapa
gue kangen masa-masa itu. Masa dimana gue bisa dengan penuh emosi meluapkan
jurus-jurus Taekwondo gue ke Veon. Adik laki-laki satu yang gue punya yang
lumayan gue sayang dan lumayan juga gue bodo amat sama dia. Aveonyx Big
Tjagcana, lahir 1 Desember 1999. Yang beda 3 tahun lebih 5 bulan dari gue.
Orangnya iri banget sama kakak perempuan satu-satunya ini. Jujur, dia itu
anaknya baik banget, kalau emosi jahatnya nggak kumat.
Gue
kangen 10 tahun yang lalu, dimana dia masih super bulet, item, banyak luka-luka
(biasa anak cowok) di tubuhnya, dengan rambut tebel model mangkok. Dia dulu
anak laki-laki paling menggemaskan, riang, dan super bandel. Nggak ada satu
hari pun tanpa berantem, saling iri, jotos-jotosan, sampai lempar bangku.
Dulu
kalau kami berantem, dia yang selalu nangis sambil teriak-teriak nggak jelas,
pokoknya semua emosinya di limpahin ke gue semua. Sedangkan gue diem dan
menerima semua emosinya, tanpa mukul (kayanya sih nggak berani mukul gue).
Ya, selama kita berantem dia nggak pernah
mukul. Sering sih lempar kursi merah kesayangannya, tapi nggak di arahin ke
gue. Dan gue langsung mendefinisikan dia anti mukul cewek :)
Setelah dia udah selesai dengan emosinya,
gantian gue dengan langsung nyudutin dia dan Bam! Pow! Zap! Dia diem dan
anteng. Tapi nggak semua pertengkaran gue yang menang. Pernah dalam beberapa
pertengkaran gue yang kalah, sampai gigi copot, gue yang kena omelan nyokap
plus..plus, dan lain sebagainya. Dan setelah selesai berantem, kita main
bareng-bareng lagi tanpa baikan dan minta maaf. Bagi gue dan Veon saling minta
maaf itu sangsi, karena kita sama-sama nggak merasa saling menyakiti.
Kita juga pernah berantem, gara-gara kita
saling iri disuruh beres-beres rumah. Dan itu, kita udah sama-sama jadi atlit
Taekwondo, kalo jotos-jotosan makin berasa. Dan sayangnya Veon nggak pernah mau
make jurus-jurus Taekwondonya, kalau mau bakalan seru sih!
Sekitar 5 tahun yang lalu, kita udah nggak
pake model berantem yang Veon dengan teriak-teriakannya sambil lempar kursi
merah kesayangannya dan sekarang udah hancur, mati, terbuang. Dan gue dengan ledakan
di akhir pertengkaran. Sekarang model berantem kita, dengan diem-diem nyimpen
dendam. Setelah adu emosi, mulut, jiwa dan raga gue bakal diem-diem ke kamarnya
nyobekin poster Shinee, anime, atau pemain sepak bola di kamarnya. Dan dia
bakal bales nyobekin poster Princess gue. Kadang gue yang lebih tua, punya ide
yang lebih brilian dengan ngehasut nyokap biar gue yang menang dan Veon yang
kalah. Tapi, lagi-lagi nggak selalu gue yang menang.
Pernah suatu hari, kita berantem entah karena
masalah apa. Nyokap yang merasa udah pusing dengan dua anaknya. Cuma dua anak
loh, nggak tiga, empat, atau sepuluh. Cuma dua anak yang setiap hari nggak ada
kata tanpa berantem. Akhirnya nyokap naik ke atas, ke lokasi dimana dua anaknya
sedang adu lempar bom nyokap langsung ngasih gunting satu-satu dan disuruhlah
dua anaknya perang pakai itu. Kami diem, nggak ada yang lempar bom atau emosi.
Semakin gue beranjak dewasa dan Veon remaja.
Kita berantem pake adu bacot, dan gue nggak pernah menang dalam hal itu. Secara
Veon nurunin bakat nyokap, sedangkan gue lebih ke bokap. So, gue akhirnya lebih
memilih cuek dan bodo amat sama dia. Walaupun nyokap nyap-nyap dia hilang saat
jalan-jalan, terus dia nggak pulang-pulang. Gue emang cuek dan bodo amat, tapi
dalam hati “Tuh bocah kemana nggak pulang-pulang? Kalau ilang nggak ada yang
gue bisa ajak berantem dan minta barang-barangnya!”.
Walaupun seburuk apapun lo sama saudara lo,
nggak ada yang bisa gantiin posisi masing-masing. Gue pingin, adik gue ya tetap
adik gue yang seperti itu. Gue tetap sayang sama dia dengan cara yang berbeda,
begitupun adik gue (entah dia sayang sama gue dalam bentuk apa). Kita jarang
komunikasi selama gue duduk dibangku SMA. Dia lebih sering berkelut dengan
dunianya dan melupakan masa-masa kita berantem. Kalau komunikasi pun, kalau
lagi bahas lagu atau film, itupun juga jarang.
Hingga akhirnya gue harus kuliah di Malang.
Dan tanda-tanda adik gue ternyata sayang sama gue mulai keliatan. Keluarga
pertama yang gue ajak ngeliat kampus gue adalah Veon, dan dia langsung bilang
“Mbak Misel kampusnya gede banget!”
Hari-hari keberangkatan, Veon mulai nanya
kapan gue berangkat? Dan nanti pulang lagi atau nggak? Ya, gue sayang sama dia
dan gue akan selalu pulang, kembali ke rumah sama kalian semua.
Setelah gue pulang, ternyata kamar gue udah
kaya kapal pecah yang ternyata udah pindah tangan ke Veon. Gue nggak bisa minta
lagi, gara-gara kamar dia atapnya bocor dan emang gue udah bakal jarang di
kamar itu. Walaupun, kalau gue lagi pake tuh kamar, dia dengan siap sedia biarin
gue di kamar lama gue, yang sekarang kamar dia. Kami sampai sekarang jarang
ngomong. Dia bilang dia sering tertekan dengan perbedaan pendapat sama nyokap.
Tapi, sekarang mulai teratasi dikit demi sedikit.
Gue, kadang kaya ibu-ibu yang merhatiin perkembangan
dia. Mulai dari aktivitas apa yang dia suka, makanan apa yang dia suka, lagu
atau permainan apa yang dia suka. Sampai gue harus mati-matian nyari password
smartphonenya dia. Demi buat nyari tau, teman sepergaulannya, sampai cewek mana
yang lagi dia taksir.
Dia sempet ngobrol siang malam sama cewek
yang katanya temen SDnya. Mereka masih ngobrol sampai SMP, tapi setelah gue
kuliah mereka nggak lagi saling ngobrol di WhatsApp. Dan gue nggak mau urusin
hal itu, itu urusan mereka.
Gue pun, coba ngobrol di kala dia hampir 24
jam dia habiskan buat main game di kamarnya. Karena hal itu, salah satu
jarak pemisah diantara gue dan dia. Dan gue bakal berusaha sekeras mungkin,
buat dia lebih terbuka sama gue dan menyingkirkan jarak diantara kita.
Tapi yang paling gue sebelin, selama gue di
Malang. Nggak ada satupun BBM, WhatsApp, mention twitter, pesan FB yang
di bales. (sumpah itu paling super duper jengkelin) Setidaknya gue baik-baik
aja sama adik gue, dan dia juga baik-baik aja sama gue.
Komentar