Snow and Rain (cerpen)
Salju pertama
di penghujung akhir tahun ini akhirnya jatuh juga. Bagaimana dengan keadaan saljumu di sana? Apakah lebih indah daripada
salju di Negara kesukaanku ini?
Aku tidak
pernah memaksa kalau kau harus merasakan salju disini. Aku hanya ingin lebih
menekankan sesuatu. Sesuatu perasaan yang sulit diungkapkan di awal aku
merasakannya. Suatu perasaan yang meledak-ledak tidak karuan dan sulit untuk
ditelusuri kebenarannya. Apakah kamu pernah merasakannya? Aku harap iya. Tapi,
kini percuma saja, kau membenciku dengan semua perbedaan kita. Dan bodohnya aku
menangani perasaan yang baru pertama kali aku rasa dan bingung perasaan itu,
dengan membencimu.
Sudah 5
tahun aku menyimpan semua perasaan ini. Dan semua pertanyaan tentang dirimu
yang misterius. Tapi bisakah aku tau suatu hal tentang perasaanku padamu?
Bisakah aku bertemu denganmu lagi untuk meminta maaf dan mengetahui
pernyataanmu yang masih kau simpan dikala pertemuan terakhir kita.
Hujan
datang menggantikan salju yang tadi mulai turun dikala bumi sedang terjadi
pemanasan global. Seharusnya minggu-minggu ini salju sedang sering-seringnya
turun. Mungkin bisa jadi hujan salju, bukan hujan air seperti ini. Hujan kala
ini mengingatkanku denganmu seseorang yang selalu membenci hujan. Dan aku yang selalu
menyukai hujan. Bisakah semua perbedaan kita tidak menghalangi perasaanku
padamu?
Tahun
terakhirku di SMA ini akan berakhir. Memang aku membenci sekolah ini dan semua
peraturan yang nggak pernah masuk akal. Tapi, dari peraturan itulah banyak momen-momen
yang sulit untuk dilupakan dan ditinggalkan. Aku termasuk anak yang sering
keluar-masuk ruangan BK. Mulai dari melanggar perturan, keluar kelas tanpa
izin, berisik di kelas, dan lain sebagainya. Hingga akhirnya di tahun terakhir
ini dia hadir membawa semua perasaan yang sangat luar biasa ketika aku melihat
warna bola matanya yang berwarna cokelat tua tajam. Dia tidak terlalu tampan
untuk se-kelas tipe laki-laki idaman-ku. Tapi dia seseorang yang mampu
mengalihkan semua duniaku.
Dia
mempunyai rambut yang agak sedikit ikal dan lumayan panjang untuk seorang
laki-laki. Padahal peraturan disini “Laki-laki dilarang memiliki rambut sampai
batas kuping dan memiliki poni panjang”. Entahlah apa karena dia murid baru
atau dia punya sogokan yang banyak untuk sekolah ini. Banyak berita yang
beredar, ‘Kalau kau mau menaklukan semua
peraturan disini, kau harus punya cukup banyak uang’ Inilah dunia saat ini,
nggak ada uang, nggak ada fasilitas. Semua dituntut dengan uang dan materi. Aku
memang orang berkecukupan, tapi aku tidak suka memakai uang orang tuaku untuk
hal yang pribadi. Kalau perlu semua kebutuhanku aku yang sanggupi. Tapi mungkin
untuk hal itu, akan kupikirkan nanti.
“Eh ada anak bau! Oops..! maksudnya anak baru?” ejekku
terhadap anak baru yang entahlah di satu sisi aku ingin mengolok-oloknya hingga
dia benar-benar marah. Di satu sisi aku ingin mengenalnya lebih jauh. Tapi sisi
jahatku saat ini menang banyak dari sisi baikku. Ejekkan-ku tidak mempan
baginya. Dia terus berjalan dan menghiraukanku dan teman-temanku. Dia terus
berjalan seperti orang disekitarnya itu tembok.
“Woi.. jadi anak baru belagu banget sih? Yaudah selamat
datang di sekolah tercinta ini. Oh… iya satu lagi, gue suka rambut lo dan
hati-hati sama pak Rudi”
Tiada hari
tanpa aku mengejek dan mengerjainya. Tapi tidak satupun respon kesal atau marah
yang ia tunjukkan kepadaku. Membuatku semakin penasaran, orang macam apa dia?
Tapi detak jantung ketika aku melihat tatapan matanya pun semakin jadi dan
meledak-ledak. Dan aku semakin bingung untuk mengartikan perasaan apa itu.
Hingga
suatu hari hujan tiba tanpa diundang sebelumnya. Membuatku terjebak di sekolah
yang suntuk ini. Sekolah sudah terlihat sepi, karena sudah hampir seluruh siswa
dan siswi pulang dari dua jam yang lalu. Tapi aku malah membersihkan kamar
mandi untuk yang ke empat kalinya. Untuk ke empat kali ini, karena aku dengan
sengaja melemparkan bola basketku ke lelaki yang membuatku sulit harus aku
benci atau bagaimana. Karena ada dua sisi yang sulit aku pilih pada saat aku melihatnya.
Karena aku membencinya di kala dia diam seribu bahasa di hadapanku, tapi di
lain hal perasaan ini tidak bisa dikontrol ketika melihatnya.
Ketika bola
basket itu menimpa kepalanya. Dia jatuh ke tanah dan menatapku dengan tajam.
Tapi aku malah menganggapnya sebuah tantangan untuk berkelahi. Aku
menghampirinya dengan santai. Dia sudah berdiri kembali dan menatapku lebih
tajam. Dan Sial! Tatapan itu
melumpuhkan semua sarafku. Membuatku sulit untuk mengkontrol detak jantung ini
yang terus berdetak. Dia sudah mengepal tangannya dengan kesal. Dan dengan
reflek aku menonjoknya di bagian pipinya dan dalam seketika dia pingsan di
hadapanku. Dan sejak itu aku sudah memastikan tidak ada kesempatan untuk aku
mendapatkannya.
Hujan bawalah semua perasaan yang membuatku
sulit untuk mengontrol diriku dihadapannya. Membuatku selalu berbuat bodoh di
hadapannya. Perasaan ini akan terus membuat dia membenciku dengan semua
kebencian yang disalah artikan ini.
Dia
kini berdiri di depan ruang UKS sambil memegang wajahnya yang membiru karena
bekas tonjokkanku. Di relung hatiku yang terdalam aku ingin mengobati lukanya
itu dan meminta maaf, di satu sisi gengsi dan sisi jahatku mengatakan jangan.
Dia kini menatapku dengan sinis. Ya aku bisa memprediksinya, mungkin itu sudah
pasti bahwa dia membenciku setengah mati. Aku kembali menatap ke lapangan yang
basah dan tergenang karena hujan. Aku mencoba memejamkan mataku dan memikirkan
suatu hal. Apa yang salah terhadap diriku ini? Kenapa aku bisa memiliki dua
perasaan sekaligus terhadap satu orang.
“Hi”
ucap seseorang yang membuatku kaget dan hampir saja menonjok wajahnya. Dan
ternyata itu dia, Vino. Hampir saja dia mendapatkan luka lebam untuk yang kedua
kali diwajahnya.
“Lu
hampir aja bikin jantung gue copot tau!” ucapku kesal dan mencoba menenangkan
saraf-sarafku. Yang bukan hanya karena kaget tadi, tapi perasaan yang
meledak-meledak ini. Kami memang sering dalam jarak sedekat ini. Tapi itu
bersama teman-temanku. Kini kami hanya dua orang yang terjebak di sekolah karena
hujan. Hanya aku dan semua perasaan-perasaan benci dan sukaku. Entah bagaimana
dengan dia terhadapku.
Dia
mengulurkan sebuah payung berwarna biru tua dan sebelum aku bertanya sesuatu
dia sudah pergi meninggalkan aku yang masih terpaku dengan semua sikapnya yang
misterius. Bisakah dia mengucapkan
sesuatu, agar aku tidak kembali membencinya?
Ujian Nasional akhirnya tiba juga. Selama
dua bulan terakhir ini, aku mencoba untuk memperbaiki sikapku. Mau itu terhadap
guru, teman-temanku, dan dia. Banyak guru-guru yang aneh terhadap sikapku yang
berubah ini. Sampai guru BK yang selalu menangani semua masalahku tercengang
hebat dengan perubahanku ini. Teman-temanku juga terus menghujamku dengan
pertanyaan-pertanyaan “Lu habis kesambet setan apa, bisa jadi kaya gini?” “Lu
nggak kenapa-kenapa kan?” Tapi untuk Vino, aku yang dulu atau yang sekarang
sama saja. Dia tetap tidak mau membuka percakapan yang panjang kepadaku.
Terakhir kami berbicara hanya sebatas aku yang mengembalikan buku catatannya
dan dia hanya mengucapkan satu kalimat yang datar, yang membuatku kesal ingin
menonjoknya lagi. ‘Lain kali kalau guru lagi menjelaskan di catet ya, aku jadi
susah belajarnya nih!’
Di hari
terakhir Ujian Nasional ini disambut dengan meriah oleh para siswa-siswi ketika
mereka keluar dari kelas mereka masing-masing. Teman-temanku sudah membuat
rencana untuk merayakan ini. Tapi entahlah lelaki itu yang akhir-akhir ini
selalu menghabiskan waktunya di lantai empat. Lantai empat ini memang tempat
yang mengasyikan. Sudah dua kali aku kesini. Pertama dikala aku sedang berbeda
pendapat dengan orang tuaku. Dan kedua kalinya, dikala aku sudah berada di
titik jenuhku untung menghadapinya. Kala itu hujan turun dengan sangat deras.
Aku naik ke lantai empat dan berbaring disana sambil melihat langit yang
mendung. Dan aku merasa sangat terima kasih, karena rasa kesalku ikut mengalir
bersama hujan.
“Hi, kok nggak ngerayain sama anak-anak yang lain?” ucapku
santai dan berusaha mendekatinya. Tapi dia masih tetap pada pendiriannya, diam
seribu bahasa. Aku mencoba mengontrol kekesalan yang masih sama ketika aku
menghadapinya.
“Maaf kalau gue selalu bikin lo kesal. Gue tau kalau lo diam
kaya gini, karena lo marah kan sama gue?” dia masih tetap diam dan akhirnya aku
menyesal, tapi tiba-tiba dia tertawa dan membuatku menoleh ke arahnya. “Emang
ada yang lucu ya, dari kalimat gue tadi?”
“Nggak kok? Lo itu cewek teraneh yang pernah gue kenal. Gue
maafin kok! Gue juga minta maaf, kalo nggak pernah ngobrol sama lo. Tapi gue
senang berantem sama lo, lo kalo lagi kesel lucu”
Setelah dia
mengucapkan 3 kalimat itu. Dia langsung beranjak pergi dari hadapanku yang
masih terpaku dengan 3 kalimat yang mampu menyihirku dalam sekejap. Apa dia mengatakannya dengan jujur? Kata-kata
itu mampu melunturkan semua sisi jahat dan kebencianku padanya. Dan aku
memutuskan perasaanku yang meledak-meledak ini karena aku mencintainya. Tapi
ketika aku berbalik, aku tidak berhasil menemukannya. Aku mencarinya di setiap
lantai dan awan hitam mulai menutupi langit cerah. Aku berusaha mencarinya
kesana-kemari. Menanyakan keberadaanya kepada semua teman-temanku. Hingga
akhirnya hujan turun membasahiku, aku harap kalimat-kalimat tadi tidak terbawa
pergi dengan hujan itu. Tapi aku merasakan sesuatu di pipiku. Bahwa aku menangis.
Aku kembali lari ke lantai 4 dan aku tidak berhasil menemukannya. Tapi ketika
aku terbaring tidur bersama hujan disana, aku merasakan sesuatu. Aku merasakan
kehadirannya, aku merasakan belaiannya dan air hujan yang tidak menyentuh
wajahku lagi. Dan akhirnya aku terbangun dan hujan sudah berhenti. Disebelahku
tergeletak payung berwarna biru tua dan sebuah kotak besi yang bergambar London
di sebelah kananku.
Aku membuka
kotak itu dan masih mencoba berpikir jernih, bahwa semua mimpi tadi. Kalau
mimpi tadi itu ternyata nyata, dia kemari, dia yang memberiku payung biru tua
ini. Dia yang memberiku kotak ini beserta surat yang ada di dalamnya.
|
Air mata ini mulai menetes dan
kini hujan mulai redah di London. Salju pun belum kunjung datang lagi, seperti
halnya janjimu dulu. Bahwa kau berjanji akan merayakan salju pertamaku. Aku
memang tidak tau kamu dimana sekarang. Aku hanya berinisiatif bahwa kau di
London, seperti kotak yang kau berikan dulu padaku. Tapi entahlah itu hanya
sebuah ide yang terpintas di pikiranku. Sudah
5 tahun aku tidak bertemu denganmu, bagaimana keadaanmu? Salju bawalah aku
kepadanya.
Malam ini, entah kenapa aku ingin
sekali menaiki London Eye. Karena selama 3 minggu ini aku di London aku belum
sempat menaiki salah satu maskot di London yang paling sensasional ini. Dan
beruntungnya aku malam ini, pengunjungnya tidak terlalu banyak. Biasanya satu
tabung bisa penuh dengan 15 orang, tapi kini aku di tabung ini dengan seorang
lelaki yang seharusnya keluar dari tabung ini. Karena waktunya sudah habis dan
harus gantian dengan pengunjung lain.
“Excuse me, sir” aku mencoba
mendekatkan lagi ke hadapannya. Aku hanya bisa melihat badannya yang terbungkus
mantel berwarna biru tua dan topi kupluk berwarna biru tua. Dia masih terdiam
di tempatnya, hingga akhirnya aku memegang pundaknya. Dan entah dalam sekejap
aku seperti teraliri berjuta-juta memori. Membuatku dengan reflek menyebut nama
itu. “Vino”
Dalam hitungan detik, lelaki itu
memutar balik badannya. Dan dalam hitungan detik, aku sudah bisa merasakannya
ketika aku menyentuhnya bahwa dia adalah Vino. Aku masih diam membisu di
hadapannya. Mukanya putih pucat, dia seperti tidak sehat. Aku masih terpaku di
tempatku, masih tidak menyangka bahwa aku akan menemuinya kembali.
“Hi, Sasha” dia menyebut namaku
dengan lembut dan pelan. Membuatku membungkam mulutku dan aku mulai
mengeluarkan air mataku. “Gimana kabarmu? Gimana salju pertamamu? Aku menepati
janjiku kan?” Dia benar, dia menepati janjinya padaku. Tapi, bagaimana ia bisa
tau, tentang keberadaanku dan aku akan ke London Eye?
“Sha..” Aku langsung berlari dan
jatuh di pelukannya. Betapa aku merindukannya selama ini. Akupun tidak akan
pernah mengerti dengan semua ke misteriusannya dan teka-tekinya.
Vino mengajakku ke suatu restoran
yang tidak jauh dari London Eye. Kami bercerita banyak, bercerita tentang 5
tahun selama pencarian dan penungguan kami. Kami berbagi tawa canda, hingga
restoran ini sepi. Dan disela tawanya, wajah pucatnya tidak bisa membohongiku
yang penasaran sejak tadi. Dan kenapa ia tidak melepas topi kupluknya, padahal
kami di dalam ruangan yang hangat.
“Kamu sakit?” ucapanku sekejap memusnahkan senyum yang
mengembang tadi. Dan membuatku bingung dan takut.
“Sudah mulai larut, sebaiknya kamu pulang” dia mulai berdiri
dari bangkunya dan hendak pergi, tapi tanganku sudah terlanjur mengenggam
tangannya. “Kamu tinggal dimana? Siapa tau aja aku bisa berkunjung”
Dia
mengambil pena di tas kecilnya dan menuliskannya di sebuah tisu. Sebuah alamat
yang sepertinya tidak jauh dari pusat kota. “Aku pasti akan berkunjung. Apa
besok kamu ada acara?” sebelum ia menjawab pertanyaanku, ia langsung berlari ke
luar menerobos hujan salju. Ya kini hujan itu sudah bercampur dengan salju yang
indah. Hujan dan salju sudah bersatu, begitupun janjimu yang sudah kamu tepati.
Tapi mengapa aku belum bisa membaca pikiranmu?
Pagi ini
London, di selimuti salju tebal, entah mengapa hari ini hujan salju belum juga
berhenti. Membuat jalan-jalan di London terselimuti salju putih. Perasaanku
mulai tidak karuan, ketika aku hendak keluar dan membuka payung biru yang dulu
diberikan oleh Vino tiba-tiba tertiup angin, akupun mengejar kemana angin
membawa payung tersebut. Hingga akhirnya aku menemukan payung itu sudah rusak berat dan tersangkut
di ranting pohon dan seketika itu aku mulai sesak nafas. Aku merasakan sesuatu,
sesuatu yang tidak enak, dan itu menuju ke Vino. Dengan segera aku merogoh saku
mantelku dan mencari tisu yang sudah tertuliskan alamat lengkap Vino. Dengan
sekuat tenaga aku menerobos dinginnya udara dan hujan salju. Dan akhirnya rumah
dengan bangunan klasik itu berada di depanku. Aku memastikan dengan benar,
bahwa ini rumah yang benar.
Dengan
keadaan basah kuyup dan kedinginan aku membunyikan bel berkali-kali. Hingga
seorang wanita sekitar umur 35 tahun berdiri di hadapanku dengan wajah yang
sembab. Membuatku semakin takut dengan firasatku. Wanita itu menyuruhku masuk,
karena dia melihat badanku yang sudah menggigil. Dia mengantarku menuju sebuah
kamar, dan disana aku melihat seseorang yang terbaring pucat. Aku merasakan
aura kesedihan yang sangat amat diruangan ini, terlebih wanita itu mulai
mengeluarkan air mata lagi. Membuatku semakin yakin, bahwa Vino sudah tiada.
Lelaki itu pergi meninggalkanku dengan semua perasaan ini.
“Vino sempet nitip kotak ini ke tante. Dia bilang besok dia
kesini, kalau aku udah tidur duluan kasih aja ke dia. Itu perintah Vino
terakhir” ucap wanita itu yang sekarang memberikanku sebuah kotak besi yang
bergambarkan menara Eiffel. Kotak besi itu hampir sama dengan kotak besi yang 5
tahun lalu ia berikan kepadaku, cuma beda gambarnya saja. Di dalamnya juga
terdapat surat dan 5 buah foto.
Hi, Sasha.
Maaf aku ngasih kotak ini disaat yang nggak tepat. Ketika dokter bilang aku
udah nggak bisa bertahan lagi, aku langsung nyari info keberadaan kamu
sekarang lewat sahabat-sahabat kamu. Maaf dulu aku nggak pernah jawab atau
ngomong sama kamu. Aku terlalu takut dan gugup ketika ketemu kamu. Ketika
kamu mengejek aku pertama kali, aku merasakan sesuatu yang aneh sama diri
aku. Aku merasa kalau aku terus-terusan berantem sama kamu, aku jadi lupa
sama penyakit aku. Aku jadi semangat buat hidup, karena kamu. Mungkin kamu
ngerasa aneh sama presepsi aku ini. Tapi, ini jujur loh dari lubuk hatiku
yang dalam. Ketika kita akhirnya ngomong satu sama lain di lantai 4. Aku
ngerasa lemah lagi, karena aku bakal pisah sama kamu. Makanya aku kabur
duluan, karena aku nggak sanggup nangis di depan kamu. Hingga akhirnya aku
sadari, kalau kamu punya perasaan yang sama dengan aku. Dan akhirnya aku
kasih kamu kotak itu. Aku kira kamu nggak bakal paham dengan inti surat itu.
Tapi aku merasa, kalau kamu akan dateng. Hingga akhirnya ketika aku tau kamu
udah ada di London. Aku keliling-keliling London, dengan satu harapan bisa
ketemu kamu. Dan pada akhirnya di salju pertama aku naik London Eye dan
akhirnya ketemu sama kamu. Aku seneng banget bisa ngeliat kamu lagi. Tadinya
aku berharap setelah ketemu kamu, aku bisa merasakan hidup kembali, seperti
dulu aku mengenal kamu. Makanya aku beli kotak ini lagi, berharap bisa ke
paris sama kamu. Tapi nasib berkata lain, setelah aku keluar dari restoran
itu dan aku lari menerjang derasnya hujan salju. Membuat kondisiku semakin
memburuk. Hingga akhirnya cuma surat ini yang bisa aku kasih ke kamu dan 5
lembar foto. Yang pertama, pas kamu main basket. Kedua bekas luka tonjokan
dari kamu. Ketiga ketika kamu terjebak hujan. Keempat ketika kamu tertidur di
bawah derasnya hujan. Kelima ketika kita di London Eye. Aku berharap kamu
bisa tetap suka dengan saju, walaupun aku udah nggak ada. I Love You, not because you perfect but
because your different and yourself. You make me fight for everything and you.
|
Komentar