Sabar (Cerpen)
Mungkin kata sabar adalah kata yang paling
menyebalkan yang pernah aku dengar. Karena sabar harus rela menunggu dan terus
menunggu tanpa kepastian yang pasti. Kata sabar tidak bisa menjelaskan suatu
hal dengan pasti. Tapi itulah sabar. Aku harus rela menunggu kamu dan harus
bersahabat dengan sabar. Sabar memang sakit, tapi hasil yang diraih bisa sangat
memuaskan, dan bisa juga mengecewakan. Dan itulah yang aku masih pertimbangkan,
memilih sabar atau berhenti.
Sabar itu nggak pasti adanya. Sabar itu PHP. Sabar itu gantungin banget.
Dan sabar itu harus rela berkorban. Itulah yang aku lakukan hingga kini.
Sabar dan terus sabar, menunggu kamu peka sama semua perasaan yang sudah aku
berikan. Dan itu yang membuatku berpikir lebih dari 1000 kali untuk bersabar
menunggumu. Hingga tepat dua jam dibawah
derasnya hujan, aku masih sabar menunggu dirimu. Aku sudah meramalkan kau akan
datang ke tempat ini. Memang hanya perkiraan tapi itulah cinta, dia akan
dibutakan apapun itu.
“Sabar juga ada batasnya!” kata-kata
itu sering memengaruhiku, membuatku semakin bimbang dengan pilihanku. Kata-kata
itu berhasil menakutiku atas perasaan ini. Jika aku menyerah dengan sabar, apa
aku juga harus menyerah sama kamu?
“Hi hujan, bisakah kamu membawa semua rasa bimbang,
rasa cintaku, dan semua rasa yang membuat penat hati dan kepalaku?” ucapku
lirih. Hingga aku menyadari suara itu, membuatku dalam sekejap menoleh ke arah
sumber suara. Merasakan setiap bunyi
yang berhasil ia keluarkan dari mulutnya. Mendengar keberadaanya berhasil
membuat senyumku mengembang. Sebelum senyum itu mengembang secara sempurna.
Sebelum jantung ini berdetak semakin kencang. Langkah kaki lain yang beriringan
dengan suara injakan air, serta tawa di antara mereka. Dan dalam sekejap senyum
itu luntur, mati, dan terkubur. Detak
jantung ini pun tidak terasa berdetuk, rasanya aku sudah mati di tempat. Sabarku tidak membuahkan hasil untuk
kesekian kalinya. Langkah mereka beriringan dengan cipratan air yang mereka
timbulkan. Mereka bahagia atas perasaan mereka, sementara aku mati atas rasa
sabarku yang tidak membuahkan hasil.
Aku menerobos hujan, berharap hujan
bisa membawa pergi semua rasa yang sudah mati ini. Semua rasa sakit yang mulai
mengisi hati dan pikiran ini. Aku ingin berteriak, tapi mungkin petir yang akan
mewakilinya, dan dalam hitungan detik petir mewakilinya itu. Aku menangis di bawah hujan. Berharap tangis ini membawa
semua rasa sakit yang aku rasakan.
Tetapi kata-kata “Hujan, tolong bawa pergi semua rasa sakit ini”
tidak manjur pada diriku ini. Buktinya dua jam itu hanya suatu semangat yang
membuatku akhirnya lebih sabar lagi menunggu semuanya menjadi indah selama dua
tahun. Tapi mungkin dengan jarak yang lebih jauh, karena tidak mungkin aku
menunggu dikala dia sedang berbahagia
dengan yang lain. Memang bodoh menunggu seseorang dengan jarak yang sangat
jauh. Namun, hanya ini yang
bisa aku lakukan. Memang ada kalanya aku merindumu dengan semua perasaan
kesalku yang tidak dapat memilikimu. Tapi aku tetap terus bertahan dengan sabar
dan menunggu, walau itu menyakitkan. Karena itulah inti sabar dan pengorbanan
cinta. Cinta itu kekuatan yang paling luar biasa yang pernah aku rasakan, mampu
melumpuhkan semua organ, syaraf, dan lainnya.
Tetapi, pada akhirnya aku kembali lagi kepada kata
“Kalau sabar juga ada batasnya!” dan inilah akhir batasku. Akhir batasku
bersabar menunggumu. Akhir batasku yang harus menerima semua ini dengan lapang
dada. Bahwa dia bukan milikku, dia tidak akan pernah merasakan apa yang aku
rasakan. Tetapi
tunggu, ini hujan.
Hujan punya banyak
rahasia dan kejutan yang tersimpan di setiap butir yang jatuh ke bumi. Dan ini yang terjadi antara aku dan
dia. Bahwa hujan memberikan aku
sebuah kejutan yang
tidak terduga yang mampu melumpuhkan seluruh syarafku. Membuatku mematung hebat
tanpa nafas dalam beberapa detik. Dan inilah rekor terlamaku memandang wajahnya
tanpa kedip. Bayangkan sebuah sabar yang membuatku mengutuk diriku sendiri
karena mempunyai sebuah perasaan yang tak terbalas. Sangat bodoh menanam cinta itu kepadanya
Sebuah
“Hi” yang keluar dari mulutnya membuat ekspresiku tetap sama ketika
berhasil menemukan dirinya tepat
berada di depanku. Berbeda dengan dua tahun yang lalu, suara tawa yang
membuatku dalam sekejap menoleh dan melunturkan semua senyum sabar menunggu
selama dua jam. Aku masih terpaku di hadapannya,
masih tidak percaya atas kejutan yang diberikan hujan kepadaku. Kini ia mulai
mengembangkan payungnya dan memayungi kami berdua. Kini dia memelukku erat. Dan
aku masih dengan ekspresi yang sama, masih mencoba bangun dari mimpiku. Aku
masih berusaha menyadari bahwa ini hanya mimpi “Dia tidak ada disini! Ini Cuma mimpi!”
ucapku pelan dan lirih namun penuh emosi. Tetapi,
pelukan ini menghangat di badanku. Aku merasakan detak jantung yang berdetak
kencang seirama dengan detak jantungku dulu setiap kami hanya berjarak beberapa
sentimeter.
Aku melonggarkan pelukan kami. Aku
menatap matanya yang indah, yang selalu aku kagumi. Tapi mata itu kini menunjukkan sebuah keheranan.
Memang aneh, bertemu kembali dengan kondisi seperti ini.
“Apa kabar?” ucapku yang akhirnya
membuat percakapan dengannya untuk pertama kali. “Maaf…” ucapnya langsung
terpotong dengan sebuah cubitan yang aku daratkan langsung di lengan kananya,
membuat ia memunculkan ekspresi yang lucu dan seketika aku tertawa dan percaya
bahwa ini bukan mimpi. Inilah dia, lelaki yang aku cinta dan aku tunggu dengan
sabar. Kini aku yang memeluknya dengan erat, dia juga membalas pelukanku. Tuhan aku mohon jangan buat semua keindahan
ini hanya sementara.
“AISHITERU!!”
ucapnya dengan lantang. Dan dalam sekejap aku melepaskan pelukan kami. Lalu
beralih memandang wajahnya kembali.
Aku memunculkan ekspresi seperti biasa, setiap mendengar bahasa itu. Setelah
aku mengetahui ia dengan yang lain aku membenci semua yang ia suka, termasuk
bahasa itu yang tidak akan pernah aku sebut lagi.
“Please deh, ini
bukan di SMA lagi. Please jangan pernah pake bahasa itu lagi!” ucapku kesal
dengan memunculkan ekspresi kesal yang menurut dirinya itu lucu dan membuat
tangannya berhasil mencubit kedua pipiku dengan gemas. “Aduh!!”
“Kalau mau jadi
pacarku, suka nggak suka harus denger, belajar, lihat bahasa jepang”
Pernyataan itu membuat bingung. Aku tau
apa yang tadi ia ucapkan, ia mengatakannya dengan lantang dan aku tau itu.
Sabarku berbuah hasil, walaupun perlu proses yang panjang. Tapi apa aku juga
harus mengorbankan ini juga? Dan akhirnya sebuah pemikiran bodoh yang kenapa
melintas di benakku dan keluar dengan jelas begitu saja “Kamu kan nggak pernah fight buat aku! Kamu juga nggak pernah
berkorban buat aku! Kenapa untuk ini aku harus berkorban buat kamu? Memang
bukan masalah suka atau tidak sukanya. Tapi aku jadi nggak tau apa kamu akan fight buat hubungan kita kelak nanti?”
Aku menundukkan kepalaku, menyesali
semua yang sudah keluar dari mulutku. Padahal aku sudah sampai di puncaknya,
aku sudah mendapatkannya, tapi aku malah merobohkan semuanya. Tapi memang itu
adanya, kalau pada akhirnya hanya aku saja yang berkorban, apa arti cinta ini
sesungguhnya?
Kami berdua menundukkan kepala. Terdiam
dalam kesunyian yang sudah aku ciptakan. Aku mengutuk diriku sendiri karena
sudah mengeluarkan pernyataan itu yang seharusnya belum saatnya keluar.
“Maaf..” akhirnya ia memecah keheningan di antara kami, membuatku menengadakan
kepalaku mentap kedua matanya yang sudah berubah ekspresi kecewa. “Kamu benar,
aku belum berkorban buat kamu. Aku belum bisa menunjukkan keseriusan aku sama
kamu…” ucapannya terhenti, aku masih menatap setiap semua yang ia keluarkan
dari mulutnya, ia mengambil jeda dan menarik nafasnya. “Maaf, kalau aku belum
pantas buat kamu. Kamu udah terlalu banyak berkorban demi aku. Kamu udah banyak
fight buat aku”
Dia membalikkan badannya, siap-siap
meninggalkan semua kejutan yang
sangat indah yang diberikan oleh hujan. Dan dengan bodohnya dengan semua
pernyataan yang aku keluarkan, merobohkan semuanya.
“Tunggu!”
ucapku lantang tapi kelantanganku belum bisa mengalahkan suara ramai yang ada
di bandara ini. Tetapi setidaknya bisa membuatnya menoleh ke arahku.
“Tapi kamu.. kamu
mau kan coba lagi dari nol?”
“Kamu mau kan,
fight buat aku dan kita? Kita bisa mulai lagi dari “Hi””.
Dia mengangguk dan kembali memelukku
dengan erat. “Hi. Aku berjanji bakalfight buat kamu dan tentunya
untuk kita. Kamu mau kan menunggu
untuk proses itu?” kali ini senyum
yang dulu gugur untuk mengembang dengan sempurna, kini dengan sangat indah
mengembang di wajahku. “Aku akan dengan sangat sabar. Aku sudah bershabat
dengan sabar dan menunggu. Kalau itu untukmu”
Komentar