Book Review: Hujan Karya Tere Liye
Judul: Hujan
Penulis: Tere Liye
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman: 320 hlm
Harga: Rp. 68.000
“CONGRATULATION! Selamat, penduduk bumi! Kita baru saja
mendapatkan bayi yang kesepuluh miliar!”
Bumi kini sudah memiliki jumlah penduduk yang sangat
fantastis, sepuluh miliar di tahun 2042. Teknologi semakin berkembang, begitu
pun dengan manusia yang memang harus berkembang biak seperti makhluk hidup
lainnya. Sayangnya dengan jumlah manusia yang semakin padat, menjadi salah satu
kabar buruk juga bagi bumi. Sudah sepuluh tahun ini bumi mengalami krisis air
bersih, krisis energi sejak sumber energi fosil habis. Begitu pun dengan
masalah krisis pangan. Jika manusia terus berkembang biak, bumi akan punya
masalah serius.
***
Diatas tadi sedikit cuplikan bagian awal dari novel Hujan. Novel
ini bukan bercerita tentang sendunya makna hujan, atau kegemaran seseorang
terhadap hujan. Tapi tentang setiap hujan yang turum memiliki cerita. Ya,
menurut saya, setiap cerita hujan turun pasti satu masalah timbul, satu
penyelesaian pun akan timbul. Di bagian belakang buku dijelaskan bahwa novel
ini bercerita tentang persahabatan, tentang cinta, tentang perpisahan, tentang
melupakan, dan tentang hujan. Bahwa ketika hujan turun, hujan menitipkan sebuah
cerita kepada bumi.
Ini pertama kalinya saya membaca karya Tere Liye. Ternyata
ia bisa menyampaikan cerita ini dengan sangat baik dan pas alurnya. Jujur saat saya
baca judulnya yang ada dipikiran saya tentang kisah cinta yang benar-benar full
love story. Ternyata, kisah didalamnya lebih menakjubkan.
Tere Liye menuliskan tokoh Lail seorang gadis yang menjadi
salah satu penduduk bumi yang berjumlah sepuluh miliar saat tahun 2042. Tere
Liye mencoba menerka-nerka bagaimana kondisi saat tahun 2042 dan masalah apa
yang akan timbul. Sejujurnya masalah yang Tere jabarkan sudah ada sejak tahun
ini, tapi mungkin dia menceritakannya lagi di jarak tahun yang cukup jauh,
karena ia juga bercerita tentang dampak dan akibatnya langsung.
Yang menarik dari novel ini bukan hanya kisah persahabatan
antara Lail dan Esok,
tetapi masalah yang ada di muka bumi ini. Lail dan Esok disini diceritakan
sebagai sepasang sahabat yang selamat dari meletusnya gunung purba yang
memiliki skala 8 volcanic explosivity index (VEI). Lail yang saat itu
dalam perjalan bersama ibunya pergi di hari pertama sekolahnya setelah libur
panjang. Sedangkan Esok bersama keempat kakak laki-lakinya. Saat gunung purba
meletus merek masih di dalam kereta bawah tanah dengan teknologi canggih,
sayangnya bencana tersebut tetap mengubur semua orang termasuk ibunya Lail,
keempat kakak laki-laki Esok, dan menyisakan Lail dan Esok yang selamat melalui
tangga darurat. Saat kejadian itu langit menjadi hitam pekat karena asap gunung
purba dan hujan pun turun.
Sebelum terjadinya bencana dengan skala yang sangat amat
dahsyat, ya kedashyatannya berhasil merubah iklim bumi, memporak-porandakkan
daratan dan gedung-gedung. Jutaan manusia meninggal. Tidak ada lagi bumi dengan
penduduk berjumlah sepuluh miliar. Sebelum terjadinya gunung meletus dengan
skala 8 VEI, sebuah televisi nasional melakukan perbincangan dengan seorang professor
untuk membicarakan jumlah penduduk di bumi. Professor tersebut berbicara bahwa
perkembangan manusia di bumi akan membuat masalah. Dan pembawa acara menanyaka
bagaimana solusinya agar bumi tetap baik-baik saja. Professor tersebut
menganjurkan obat yang paling keras yaitu, bencana alam. Sebelum perbincangan
itu selesai, bencana alam pun terjadi. Gunung purba meletus yang menimbulkan
gempa bumi berkekuatan 10 skala richter dan tsunami yang sangat tinggi menyapu
daratan.
Saya tertarik dengan penjabaran masalah perkembang biakan
manusia di bumi yang di ceritakan Tere Liye. Bahwa benar adanya manusia lah
yang merusak bumi dan dirinya sendiri. Manusia itu egois, tidak mau mengalah,
dan ingin menang sendiri. Walaupun sudah diberikan obat yang paling keras,
mereka tetap serakah dan tetap mementingkan dirinya sendiri yang membuat diri
mereka semakin terancam punah.
Saat saya membaca novel ini dikepala saya sudah tersusun
adegan-adegan nyatanya jika novel ini dijadikan film. Saya harap novel ini bisa
diangkat ke layar kaca, tapi yang buat saya takut adalah ketidaksiapan film
maker di Indonesia. Karena film maker di Indonesia belum pernah
membuat film-film seperti ini sekeren film-film di Hollywood dengan efek-efek
yang canggih dan editing yang bersih.
Kisah Lail dan Esok pun menarik dan gemesin. Mereka sama-sama
suka, tapi saling memendam agar satu sama lain tidak merasa terganggu. Dan hujan,
sekali lagi hujan disini bukan tokoh utama, tapi sebagai pengantar cerita saja.
5/5 stars.
Komentar