Pengalaman Naik Pesawat Dengan Cuaca Buruk
Sehari sebelum keberangkatan, malam tanggal 10 Februari saya beserta keluarga akan
pergi menonton di salah satu gedung bioskop di pusat perbelanjaan di Tangerang Selatan. Saat perjalanan menuju ke tempat tersebut, Papa saya bilang bahwa saya balik ke
Malang tanggal 11 Februari saja. Alasan pertama, karena biar ada waktu
istirahat sebelum melakukan aktivitas kembali. Alasan selanjutnya agar tidak
terlalu terburu-buru.
Kami sempat beragumentasi dan berbeda pendapat, terutama
Mama saya yang menginginkan saya agar tidak usah balik ke Malang terlebih
dahulu. Berhubung saya ada acara tanggal 12 Februari, saya benar-benar harus
balik ke Malang.
Akhirnya malam itu saya booking tiket pesawat untuk
penerbangan jam 14.30. Keesokannya, menjelang saya berangkat, hujan turun
dengan sangat deras. Saya bingung, sebenarnya Papa saya akan mengantar saya
dengan motor atau dengan mobil. Hingga akhirnya jam 12.00. Papa saya mulai
ngomel karena saya belum siap-siap. Padahal, koper dan barang bawaan yang saya
bawa sudah tersusun rapi, tinggal dibawa saja. Karena hujan di Jakarta tidak
bisa diprediksi, kapan berhenti, dan kapan akan hujan kembali. Kami memutuskan
untuk membawa mobil. Di dalam mobil suasana semakin mencekam. Papa saya marah
dan sudah ngomel-ngomel.
“Kamu tau sendiri kan kalau check in itu dua jam
sebelum keberangkatan!” omel Papa. Saya hanya berdiam diri, sambil mengutuki
internet yang tidak mau bekerja sama dengan saya di situasi yang mencekam ini.
“Kamu emang nggak inget dulu masalah yang di Surabaya
gimana? Itu duit neng, angus gitu aja!” masih omel Papa. Padahal pas itu yang
salah Papa saya. Beliau salah menginformasikan saya dan adik saya yang mau
balik ke Jakarta. Akhirnya tiket kami hangus, dan kami batal pulang.
Saya masih di kursi belakang, masih merutuki internet yang
masih super lemot. Ketika sudah masuk ke kolom check in, tiba-tiba handphone
yang saya gunakan tidak mau memproses check in saya. Papa saya yang udah
ngebut, dan Alhamdulillah jalanan nggak macet. Kembali bertanya kepada saya,
tentang masalah proses check in, dan memulai ceramah panjang lebarnya.
Saya yang mulai keringetan, berusaha memaki-maki dalam hati sang handphone yang
super duper nyebelin ini.
Setibanya di terminal tiga Bandara Internasional Soekarno-Hatta,
saya mulai menyerah dan langsung turun tanpa memikirkan koper saya. Mama yang
juga ikutan turun, mulai berjalan cepat mengikuti saya di belakang. Saya
langsung mencari mesin self service milik airasia. Dan sialnya, saat itu
ramai sedang dipakai oleh penumpang yang lain.
Sambil menunggu, saya mendengar salah satu penumpang yang
baru juga datang, bertanya kepada pegawai AirAsia yang sedang menjaga disana.
“Pak, untuk penerbangan AirAsia ke Jogja masih bisa check
in nggak?”
“Oh, masih bisa kok. Cuma bapak harus buru-buru, soalnya
sudah boarding sejak lima menit yang lalu”
Kalau gitu, check in-nya nggak harus dua jam sebelum
keberangkatan dong ya? Buktinya si bapak masih bisa check in walaupun sudah boarding.
Saya juga sempat mengalami, orang-orang yang benar-benar beradu waktu karena
mungkin bangun kesiangan atau terjebak macet. Mereka harus buru-buru check
in, lalu memasukkan bagasi, melewati scanning, dan lain sebagainya.
Dalam waktu 20 menit.
Setelah check in, saya langsung masuk ke ruang boarding,
dan menunggu pesawat saya. Sialnya, pesawatnya delay selama 30 menit.
Setelah masalah delay selesai, saya sudah duduk di pesawat dekat
jendela, dan memakai sabuk pengaman. Pesawat pun sudah jalan di runaway1,
tiba-tiba saja berhenti. Dan benar saja.
“Informasi untuk para penumpang. Sekarang ini proses take
off sedang penuh, dan pesawat kami masuk dalam urutan kesepuluh untuk take
off. Kira-kira pesawat kita akan kebagian take off, sekitar 15 menit
lagi” kira-kira seperti itu informasi dari bagian kokpit. Entah si pilot atau
si co-pilot yang berbicara.
Di depan kami, ada Garuda Indonesia, Batik Air, AirAsia, Lion
Air, dan pesawat kami. Cukup lama menunggu, akhirnya pesawat kami take off
juga. Sekarang tinggal memikirkan, bagaimana nanti perjalanan saya dari
Surabaya ke Malang.
Hingga tiba akhirnya sang pilot mengumumkan hasil check
listnya. Saya lupa nama pilotnya, karena kalian tau sendiri, speaker di
pesawat kurang bagus, dan kuping saya juga bermasalah karena lagi pilek. Warning
dikit ya? Kalau lagi flu jangan naik pesawat. Kalau mau coba silahkan aja sih!
Pokoknya pak pilot menginformasikan, bahwa kita ada di
ketinggian 37000 kaki. Cuaca berawan. Dengan suhu 31˚. Sisanya saya juga lupa. Biasanya setelah sang
pilot memberi informasi hal tersebut, kira-kira 15 menit lagi pesawat akan
landing. Saya pun juga sudah bisa melihat daratan. Dan awan hitam yang berada
di bagian-bagian yang akan di landa hujan. Dari situ saya mendapat pengetahuan
baru. Kalau ternyata benar adanya, hujan bisa hanya terjadi di bagian tertentu
saja. Tidak selalu satu daerah semuanya hujan berjamaah.
Petir pun mulai datang mengiringi hujan yang turun. Pilot
juga sudah menginformasikan, bahwa mereka akan mendarat. Karena kuping saya
semakin sakit, saya mencoba untuk tidur. Saya sudah merasakan roda pesawat
turun dan badan pesawat juga sudah mulai turun. Tiba-tiba saja, pesawat kembali
menukik ke atas. Sisanya saya tidak dengan jelas apa yang terjadi dengan
pesawat ini. Saya cuma berpikir, mungkin kami landing-nya juga ngantri,
dan kami harus muter-muter di atas awan.
Setelah tidur beberapa jam, dan saya kaget saat melihat jam.
Seharusnya saya sampai di Juanda, Surabaya pukul 16.00, dan sekarang pukul
17.02. Masa mengantri memakan waktu hampir satu jam? Apa bensinya cukup?
Hingga akhirnya saya kembali melihat… kali ini lautan. Padahal
dari saya kecil, karena kampung halaman saya juga di Surabaya. Setau saya,
Bandara Juanda letaknya tidak dekat dengan laut. Saya mulai khawatir dan panik.
Apa mau mendarat dalam keadaan darurat, karena bensin habis?
Hingga akhirnya pesawat landing dengan cukup baik,
dan salah satu pramugara memberitahukan.
“Kita sudah mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai
Bali. Waktu menunjukkan…”
Apa!! Ini beneran landing di Bali?
“Waktu antara Jakarta dan Bali terpaut berbeda satu jam…”
Saya langsung memasang wajah panik dan bertanya kepada
penumpang sebelah saya.
“Ini beneran nyampe Bali?”
“Iya. Katanya tadi cuaca tidak memungkinkan untuk pesawatnya
mendarat.”
Saya langsung panik dan menyalakan handphone saya,
dan mengirimkan pesan via WhatsApp ke keluarga saya. Anehnya mereka nggak ada
yang panik. Mungkin mereka juga nggak pingin saya panik, kalau keluarga saya
juga ikutan panik.
Dan nyebelinnya, kami nggak diijinin buat masuk ke
bandaranya, hanya boleh keluar dari pesawat di sekitaran apron2 saja.
Padahal saya ingin mengistirahatkan kaki saya yang tersiksa di bangku pesawat
selama tiga jam penerbangan. Sudah tiga jam kami menunggu, dan waktu sudah
menunjukkan pukul delapan malam. Saya mulai panik. Indekos saya punya jam
malam, dan itu jam sembilan. Jadi, saya harus punya alternatif lain. Saya
langsung mengabari tante saya, dan menceritakan panjang lebar kronologisnya.
Saya juga minta izin untuk menginap di rumahnya.
“Aku nggak tau nanti sampe malang jam berapa? Kira-kira
masih ada angkot nggak ya?”
“Kalau udah malam gitu nggak ada Cel. Kamu naik taksi saja!”
Untung saja kali ini saya sudah prepare bawa duit lebih.
Jangan sampe ngutang lagi sama orang asing. Dulu saya pernah bawa duit pas-pas-an,
yang menurut saya akan cukup. Ternyata airport tax bandara Juanda naik menjadi
75 ribu. Jadi saya berutang dengan salah satu pegawa airasia, sejumlah 13.000.
Hingga sekarang saya cari orang itu, tapi dia nggak ada. Entah di pindah tugas,
atau memang waktunya kurang tepat.
Akhirnya jam 21.00, pesawat berangkat. Saya sudah bisa duduk
dengan tenang, dan mematikan semua handphone saya. Baru lima menit jalan
di taxiway, tiba-tiba harus ngantri lagi untuk take off. Arrrggghhh!!!
Sesampainya di Surabaya, saya bingung harus naik travel,
atau angkutan seperti biasanya saya bolak-balik JKT-MLG-SBY. Karena harga
travel tidak memungkinkan, saya langsung naik damri menuju terminal Bungurasih,
untungnya bis sudah penuh. Dan karena mungkin sudah malam, sampai di Malangnya
juga cepat. Sayang langsung mencari taksi ke rumah tante saya.
Satu lagi pengalaman hiatius saya, dan ini benar-benar
pelajaran seru banget. Walaupun panik, tapi saya senang dapat pengalaman ini.
Notes:
1.
Nama jalan yang sering
dipakai pesawat saat mau take off, dan landing hingga menuju
apron. Biasanya sering disebut dengan runaway, tapi namanya taxiway.
2.
Apron itu nama dari tempat parkir
pesawat.
Komentar