Bad Blood
Sikap lugu dan polosnya sudah berubah. Aku sudah tidak bisa
memanggilnya dengan sebutan kesayanganku lagi. Dia tidak lagi menjadikanku
tempat pertama untuk semua curhatannya dan semua cerita rahasianya.
Kami menjadi canggung. Tidak ada lagi tawa yang hanya kami
dengar berdua. Tidak ada lagi kasur sebelah. Semakin ruang memisahkan kami.
Kami semakin terpisah oleh jurang. Dan kami bukan lagi sahabat.
Dulu kami terlalu dekat, hingga semua orang memusuhi kami
karena kami tidak bisa dipisahkan begitu saja. Kami selalu bersama dari awal
hingga akhir SMA. Dia akan berperan sebagai Mama keduaku, dengan segala
kepeduliannya, kebaikannya, nasihatnya, dan semua over protektif-nya. Semua
pelarian masalah-masalah remajaku adalah dirinya. Dia selalu siap menjadi penolong
pertamaku.
Aku akan menolongnya untuk lebih berani, untuk lebih percaya
diri lagi. Seperti kata mereka, aku tidak akan berpisah dengan sahabatku. Pada
akhirnya manusia berubah ya kan? Dan disini lah kami sekarang.
“Gue nggak tau sebenarnya kenapa gue gini dan lo kaya gitu?
Gue juga bingung, sebenarnya ini salah gue atau salah lo. Karena kalau gue
bilang ini salah lo aja, gue bakal egois banget. So, kenapa selama ini gue diam
dan pergi, karena gue mikir. Gue mikir, sebenarnya gue salah apa sama lo? Sama
persahabatan kita?” jelasku.
Selama aku
bersahabat dengannya, akhirnya aku menemukan pasangan sahabatku. Seperti Miley
Stewart dan Lily Truscott di serial Hannah Montana. Aku merasa persahabatan
kami akan bertahan lama dan bisa seperti Miley dan Lily. Ternyata, disinilah
kami sekarang tidak berani saling tatap untuk menyelesaikan masalah kami.
“Tapi, lo nggak seharusnya berkata kaya gitu? Kita kan masih
bisa omongin ini baik-baik kan?”
Aku tau aku
salah telah mengumpat padanya. Tapi aku tidak akan pernah mengumpat, kalau
bukan karena masalah yang besar. Dan ini menyangku persahabatanku. Orang yang
paling aku percaya dan sudah seperti Mama keduaku. Aku menahan semua emosiku,
dan berkata pada diri sendiri, bahwa ini bukan seluruhnya kesalahan dia, tapi
aku juga salah.
“Iya lo bener gue salah. Gue minta maaf, tapi gue nggak
nyangka aja…. kalau lo. Lo lebih milih teman lain dibandingkan gue. Lo berbagi
tawa, cerita, rahasia dengan dia.” Aku menarik nafasku dan mulai berani menatap
matanya dan detik itu juga bulir-bulir air mataku mengalir.
“Yang nggak habis gue pikir. Lo lebih percaya dia
dibandingkan gue! Lo pinjemin hal-hal kecil itu ke dia, tanpa sepengetahuan
gue. Dan saat temen kita kesini, lo nggak kasih itu dengan berbagai alasan. Apa
sebegitunya lo berubah?” jelasku memburu. Emosi sudah mengambil alih hampir
sebagian pikiranku. Aku berharap masih bisa menahan semuanya, dan bisa
menghasilkan jalan keluar yang terbaik.
Aku berhenti dan kembali membuang pandanganku ke jalan raya
sambil memainkan sedotan di minumanku. Aku masih menunggu di berbicara. Dia masih
tidak terima dengan umpatanku di sosial media. Karena seharusnya dia tau
diriku, seperti aku mengetahui dirinya. Aku tidak punya siapa-siapa selain dia.
Karena seharusnya aku bisa bercerita dengannya, dan kini posisiku sudah
digantikan.
Kami sudah menghabiskan satu jam berlalu. Air mata tidak
berhenti-henti di kedua pipiku. Aku masih merasa ini belum selesai, kalau jalan
keluarnya belum terucap.
“Gue nggak tau, setelah ini kita bakal gimana? Dan yang
pasti… kita nggak bisa jadi sahabat lagi. Gue minta maaf, tapi ini yang
terbaik. Karena dengan begitu, gue harap gue nggak bakal cemburu lagi, kalau
posisi gue udah digantikan dengan teman-teman baru lo, dan semua sifat baru lo”
jelasku.
Hari itu kami berdamai, dan juga berpisah. Kami tetap
tertawa. Kami tetap bercerita. Kami tetap jalan bersama. Kami tetap
berkomunikasi. Tapi kami bukan lagi Miley dan Lily, sahabat sejati. Kami hanya
dua teman, yang pernah bersahabat dekat.
Tidak ada lagi sebutan Mama kedua. Dan ucapanku waktu itu
‘Tidak akan terpisahkan’ ternyata takdir berkata lain. Tuhan punya rencana, dan
umat yang menjalankannya.
Komentar