Never Be Alone

 

And take a piece of my heart and make it all your own. So when we are apart, you’ll never be alone.

Tak pernah kusangka sebelumnya, bahwa Andra benar-benar akan pergi dari hidupku. Dia lebih memilih mengejar mimpinya dan pergi sejauh-jauhnya dariku. Andra meninggalkanku bermil-mil bersama segala mimpinya yang jauh tanpa kepastian tentang kami. Tentang hatiku. Aku yang mungkin tidak pernah ada dalam semua mimpinya atau aku yang memang bukanlah salah satu diantara masa depannya. Aku ingin menahannya dengan semua rasa dan kenangan yang kami miliki bersama. Dengan semua rasa cintaku, tetapi aku tau mimpinya terlalu dan teramat besar.

Dua minggu sebelumnya.

Hari itu kami menghabiskan seharian penuh berpetualang keliling kota. Memulai pagi dengan mengejar matahari, embun pagi yang menyegarkan menandakan hari ini akan menjadi hari yang menyerahkan. Kami menelusuri tempat-tempat yang ingin aku kunjungi dan dia menurutinya. Kami masih menyusuri kota dan melihat matahari yang tenggelam di antara gedung-gedung tinggi. Kami bahagia hari itu. Aku merasa sangat beruntung bisa memiliki Andra di sisiku, dan aku berharap akan seperti itu selamanya. Hingga dering itu berbunyi bagaikan suara kematian yang datang untuk memisahkan aku dan Andra.

“Kenapa Ndra?” tanyaku ingin tau dengan raut wajah yang curiga ke arahnya. Andra pun yang tadinya sempat memasang wajah gembira kini berubah bingung. Mungkin Andra membaca raut wajahku yang membuatnya tidak menjawab pertanyaanku. Aku kembali bertanya dengan lebih penekanan. “Siapa sih Ndra? Kamu kok jadi aneh gitu!”

Dengan muka bimbang ia menjelaskannya kepadaku “Foto. Aku dapat kesempatan magang di National Geographic, San.” Aku sempat terdiam sejenak menyerap setiap kata yang ia ucapkan dan akhirnya aku bersuara kembali “Ng… kalo gitu selamat dong! Wow!” aku segera menutupi raut mukaku yang sedih dengan langsung memeluknya. Aku seharusnya tau, semenjak dia menceritakan semua mimpinya hari itu akan datang, tetapi aku tidak tau bahwa impiannya terlalu besar.

“Kamu nggak apa-apa kan?” tanyanya dengan raut mengkhawatirkan diriku. Aku pun hanya membalasnya dengan tersenyum. “Kita akan baik-baik aja kan?” tanyanya sekali lagi.

“Asal kamu kembali secepatnya ya?” ujarku yang membuat raut wajahnya kini berubah lagi.

“Aku… Aku nggak tau-“ wajahnya berubah redup, seakan dia nggak menganggapku ada di salah satu bagian terpenting dalah hidupnya. Aku pun menatap dengan penuh amarah dan sedih sampai aku tidak tau bahwa aku sudah meneteskan air mata. “Aku nggak tau San kapan aku kembali.” ucapnya yang membuatku semakin merasakan ketakutan.

“Ke-kenapa?”


Right now it’s pretty crazy and I don’t know how to stop or slow it down’

“Ini baru magang San Aku bisa meraih lebih dari magang kalau aku bisa bertahan lebih lama disana. Kamu tau kan, ini impianku sejak lama? Jadi…” Dia berusaha menjelaskan semuanya yang membuat hatiku semakin perih. Dia seperti memberitahuku bahwa ini impian yang ia nantikan selama ini dan tidak bisa dilewatkan begitu saja. Sayangnya aku tidak bisa memahami semua itu dan hanya ingin jawaban yang pasti darinya. Aku ingin diberi kepastian akan keberadaannya disampingku. Aku tidak ingin dia pergi terlalu lama dariku.

“Aku ngerti ini impian kamu. Aku cuma minta kepastian dari kamu. Aku nggak tau kedepannya kita nanti. Siapa tau aja kamu dapat yang lebih baik daripada aku nantinya. Atau aku nggak bisa nunggu kamu lebih lama lagi, karena aku nggak mau bertahan dengan ketidakpastian, dan satu hal Ndra. Semua orang berubah.” jelasku dengan napas memburu dan air mata yang semakin deras.

“Kalau kita mau berjuang, kita bisa pertahanin ini semua San.” dengan mudahnya dia hanya memberiku kalimat tersebut

Sebelum ia memperjelas semua alasannya, aku meremas ujung bajuku dan menjelaskan apa yang ada di hatiku. “Aku pernah dengar kata-kata yang sepert ini. Dulu orang tuaku berjanji akan memperjuangkan keretakan cinta mereka. Mereka berjanji akan tetap bersama demi aku. Lalu sahabatku, dia berjanji kita akan selalu bersama selamanya. Kita sahabat selamanya, tapi liat sekarang? dia pergi gitu aja dan nggak pernah lagi kembali. Dia lebih mementingkan rasa candu akan dunia. Dia overdosis Ndra!!” Emosiku mulai membara, dadaku semakin sesak. Aku tak sanggup lagi dan segera membawa tubuhku untuk beranjak dari hadapannya.

Sebelum aku memutuskan untuk meninggalkannya disana, aku menoleh sebentar untuk menatap wajahnya meyakinkan dia untuk menghentikanku atau lebih tepatnya untuk membuat diriku mengalah tapi rasa sakit dihatiku terlalu nyeri. “Kamu tau Ndra, selain kamu pergi -mil jauhnya dari aku dan aku nggak tau kapan kamu akan kembali pulang. Aku pun tau kalau aku nggak pernah ada diantara semua impianmu yang besar itu. Dan kamu masih bilang kalau semuanya akan baik-baik aja? Iya Ndra?” Andra hanya mematung ditempatnya dengan ekspresi bersalah, kini ia menunduk seperti bersalah. Ia berhak bersalah. Ia juga harus tau bagaimana rasanya. Ini bahkan terlalu gila buatku. Aku meninggalkan dia dengan semua pembicaraan yang belum usai. Begitu pun dengan hubungan kami yang diujung tanduk.

 

And I can’t stay. Just let me hold you for a little longer now’ 

            Kamu tidak pernah mencariku atau berusaha menghubungiku setelah pertengkaran kita malam itu. Kamu membiarkannya menggantung bersama derasnya hujan malam itu. Kamu memilih tidak bertahan dan meninggalkanku. Walaupun aku marah, tapi aku masih menginginkan kamu lebih lama bersamaku sekarang, sebelum kamu pergi. Apakah memang aku harus menunggu mu?

            Seharusnya lusa Andra akan pergi, ibundanya yang memberitahuku saat kami bertemu di salah satu supermarket. Beliau bilang Andra jadi sedikit berubah, sering mengunci dirinya di kamar dan jarang mau mengobrol dengan adik atau bahkan bertemu dengan teman-temannya. Memang sudah dua minggu ini aku tak sekalipun menghubunginya atau bertemu dengannya, begitu pun dengan Andra. “Maafin Andra ya San.” itu yang diucap ibu Andra sebelum kami berpisah.

        Siang hari itu, setelah satu bulan aku dan Andra memutus komunikasi, dia muncul di depan rumahku sambil tersenyum kecil dengan sepasang mata lelahnya. Satu bulan memang waktu yang cukup lama, tapi tidak lebih lama dari menunggu orang yang dicinta tanpa kepastian. Aku hanya membalasnya tersenyum dan membiarkannya masuk. Kami kini duduk di depan rumah, beberapa menit tanpa suara hanya aku yang memandangi pekarangan rumahku dan Andra yang beberapa menit lalu memandangiku dengan penuh harap dan perasaan menyesal.

“Jadi apa lagi yang harus dibicarakan?” tanyaku memecah keheningan diantara kami.

“Aku minta maaf atas semuanya. Semua ke egoisanku, semua impianku dan kamu yang belum ada di masa depanku. Kita-“

“Kamu benar dan aku akan melepaskanmu.” ucapku yang membuat kami saling bertatap. Hatiku seakan runtuh berkeping-keping. Sebulan ini aku sudah memikirkan semuanya, bagaimana aku harus menghadapi Andra suatu saat nanti, tepatnya hari ini. Diantara semua kenangan kami selama tiga tahun ini, aku menyadari semua momen kami selalu dipenuhi dengan semua impiannya. Bagaimana Andra begitu mengebu-ngebu menceritakan cita-citanya. Dia yang selalu lihai dalam menangkap momen dengan kameranya. Andra yang selalu tertarik dengan hal-hal baru dan menantang. Ia mungkin memang mencintaiku, tapi kata “kita” terasa begitu sangat jauh di depan.

Setelah perbincangan kami Andra memutuskan pamit sambil memelukku dengan erat. “San, one day I’ll be around. I’ll keep you safe and sound.” ucapnya sambil tersenyum sehangat matahari yang terbenamTapi aku benar-benar minta maaf San. Aku hanya menatapnya penuh harap, kini ia berjalan pergi dariku dengan semua impianya. Aku mendekap hatiku dengan erat.

‘Just remember, when you fall asleep tonight just remember that we lay under the same stars’

***

Cerita ini kuambil dari penggalan lirik Never Be Alon karya Shawn Mendes. Selamat membaca kembali.



Komentar

Postingan Populer