Look What You Made Me Do

Look what you made me do.
Banyak orang yang mengenal saya, bahwa saya adalah fans (fanatik) Taylor Swift. Padahal nggak fanatik juga sih, banyak yang lebih lebih lebih fanatik dari saya. Selain teman-teman dan keluarga saya, pembimbing saya di perusahaan tempat saya magang dan dosen pembimbing skripsi pun tau saya fans Taylor Swift J and luckily they’re never judge or underestimate me of being Swifties (nama fandom Taylor Swift). Sudah 7 tahun saya mengidolakan muse sekaligus role model saya ini. Seorang wanita yang terus berkembang pesat sampai saat ini h-10 (saat saya menulis ini) menuju perilisan album teranyarnya “Reputation”. Dari seorang gadis yang tinggal di Pennyslvania membawa mimpinya ke kota untuk sebuah kontrak rekaman. Di awali menjadi seorang penyanyi yang mengusung genre country, sekarang Taylor Swift berkembang menjadi salah satu orang yang berpengaruh di Dunia. Banyak hal yang saya pelajari dari Taylor Swift, termasuk mengubah pikiran dan jalan yang saya pilih saat ini.

Why do you love Taylor Swift?
Awal saya mengenal Taylor Swift sekitar awal tahun 2010, pada sebuah siaran ulang ajang penghargaan terkemuka, Grammy Award. Saat itu Taylor masih sangat muda, tapi sudah berhasil membawa pulang banyak penghargaan di acara yang bergengsi itu. Saya penasaran dengan sosoknya dan saat itu internet tidak semudah saat ini, dikarenakan saya juga masih SMP jadi saya belum diberi kepercayaan untuk memiliki handphone yang memiliki internet. Saya meminta kepada papa saya untuk mengunduh lagu-lagu Taylor Swift di tempat kerjanya. Papa berhasil mengunduh tiga lagu milik Taylor Swift yang menurut dia akan saya sukai yaitu, Love Story, You Belong With Me dan Untouchable. Saat itu saya paling tidak bisa bahasa inggris, tapi saya ingin tau apa yang Taylor Swift nyanyikan, jadi saya mencetak lirik-liriknya dan saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Anehnya saya adalah, saat saya mendengar lagu saya ingin tau apa yang penulis lagu itu ingin sampaikan ke dalam lagunya. Jadi, setiap saya dengar lagu bagus saya selalu buka internet dan melihat liriknya sampai saya berhasil memecahkan inti pesan yang dikandung oleh lagu tersebut.

Kembali ke Taylor Swift. Wanita ini terus mempengaruhi hidup saya, lirik-lirik yang saya terjemahkan berhasil membuat saya cukup pandai bermain kosa kata dalam bahasa inggris. Kedua, Taylor Swift cukup menjadi peranan penting dalam perubahan dan perjalanan di hidup saya. Pasti banyak yang tau bahwa kehidupan remaja itu sangat indah dan penuh dengan emosi. Banyak sekali emosi dan perasaan yang terjadi saat saya menginjak bangku SMA. Ingin selalu bersama teman satu geng, merasakan asam manisnya jatuh cinta, perbedaan selisih dengan orang tua dan rasa ingin bebas. Semua itu tergambarkan di album Taylor Swift di Speak Now dan RED. Speak Now menggambarkan Taylor Swift yang ingin segera melepaskan masa remajanya yang penuh dengan lika liku percintaan yang selalu gagal dan lambat laun mulai meninggalkan gelar penyanyi country-nya menuju RED. Lagu ‘I Knew You Trouble’ menjadi lagu yang melepaskan jati diri Taylor Swift yang baru.

Saya sering membahas ini di instagram, bahwa saya menemukan sahabat sejati saya di facebook karena kami sama-sama mengidolakan Taylor Swfit. Syukurnya kami masih bersahabat sampai sekarang dan saya sangat beruntung kami saling memiliki satu sama lain, dan saya ingin mempertahankan yang satu ini. Selama proses perjalanan hidup saya, banyak satu persatu teman ataupun sahabat pergi meninggalkan saya. Saya tidak pernah menyalahkan mereka. Ini hukum alam. Saya berubah di setiap waktu dan yang tidak bisa menerima akan pergi yang tersisa akan tetap tinggal. Jadi saya sangat amat bersyukur dengan orang-orang yang masih tinggal dan percaya kepada saya.

Percaya atau tidaknya Taylor Swift menyembuhkan saya dari depresi. Semua orang punya jiwa, dan jiwa itu pasti pernah sakit, tetapi ada beberapa yang bisa menyembuhkannya karena mereka mau dan ada beberapa yang merasa mereka memang seperti itu. Saya belajar dari setiap lirik atau kadang mendengarkan Taylor Swift berbicara di beberapa wawancara yang membuat saya percaya kalaupun orang-orang tidak percaya kepada saya, saya harus percaya kepada diri saya sendiri terlebih dahulu. Lalu orang-orang dapat melihat bahwa saya bisa.

Saat SMA saya banyak berdebat dengan mama saya, lain hal nya dengan sekarang saya dan mama ibaratnya seperti sahabat dekat, walau tak jarang masih sering bertengkar, tapi menit selanjutnya kembali akur. Seperti penyihir yang punya rapalan disetiap sihirnya, saya pun punya rapalan yang saya sesali sampai saat ini kepada mama saya, tapi saya syukuri Allah tidak mengabulkan itu. Berulang kali saya ingin pergi dari rumah. Berulang kali juga di setiap malam kami bertengkar, saya merapalkan itu. Sampai suatu hari dihari saya mengepak beberapa pakaian dan mengatakan kepada teman sebangku saya untuk menginap sehari dirumahnya sebelum saya melakukan misi melarikan diri. Pagi itu saya datang ke sekolah dengan tas besar, mata sembap dan jaket tebal. Saya duduk di dekat tembok dengan kedua earphone di telinga saya. Lagu yang terputar saat itu adalah Fearless milik Taylor Swift, saya ingat pernah mengartikan lagu itu, tapi ada satu kalimat yang tidak saya pahami saat mengartikannya jadi saya belum berhasil memecahkan inti lagu itu. Lalu entah mengapa saat itu juga saya menangis sesenggukkan dan memegang tangan teman sebangku saya, bahwa saya ingin pulang saja. Misi melarikan diri pun gagal dan tumbuh misi lain. Saat itu saya sedang duduk di kelas 3 ilmu pengetahuan budaya, ada tiga mata pelajaran yang masuk ujian nasional yang saya tidak kuasai yaitu, Bahasa Jepang, Matematika dan Antropologi. Karena saya ingin membuktikan kepada mama bahwa saya bisa melakukannya sendiri, jadi saya belajar mati-matian “and I don’t know how it gets better than this” salah satu lirik ini berhasil membawa saya menuju kejutan penuh kejutan. Saya sendiri pun tidak pernah mengira kalau saya bisa dapat undangan ke salah satu top 5 perguruan tinggi negeri. Apalagi saya dari jurusan yang sekarang sudah hampir hilang, Ilmu Pengetahuan Budaya (IPB). Saat itu mama terlihat bangga, tapi tidak mau melepaskan saya. Saya marah kenapa beliau masih belum bisa melepas saya menjadi bonekanya. Saya dari kecil selalu menjadi bonekanya, karena beliau tidak punya banyak waktu untuk melakukan apa yang beliau inginkan. Itu menjadi satu alasan saya memilih kuliah di tempat yang jauh, agar saya bisa jauh dari mama saya.

Malam-malam saya jauh dengan mama tidak terasa senang, benar kata Mas Agus (AgustD) “When you’re young, the idea of living on your own is really fun. I was excited and stuff too but as I get older, I want to live with my parents instead of living away from home.” Salah satu lagu Taylor Swift ‘Never Grow Up’ membuat saya berdamai dengan mama. Satu hal yang membuat saya percaya Taylor Swift adalah live savior saya adalah dia menjadi obat penyembuh saya saat DBD. Tidak ada yang tau, bahkan diri saya dan dokter kampus kalau saya sudah satu minggu terkena virus dengue. Itu pertama kalinya saya masuk rumah sakit dan di infus, papa saya tiba-tiba datang dari Medan menuju Malang untuk membawa saya ke Jakarta. Alasannya, karena saya orang yang cukup nekat untuk kembali ke Jakarta walaupun saya belum sembuh hanya untuk nonton konser Taylor Swift. Ya, saat saya masuk rumah sakit dengan trombosit yang sangat rendah, karena saya juga mengalami menstruasi membuat saya kehabisan darah juga. Itu menjadi alasan papa membawa saya untuk dirawat di Jakarta. Tiap hari pun mama selalu memberi segala jenis obat herbal yang menurut orang-orang ampuh untuk menaikkan trombosit, setiap saya menolak mama selalu bilang “Yaudah nanti nggak bisa nonton Taylor Swift!” see, Taylor Swift save my life again. Hebatnya dua hari setelah saya keluar dari rumah sakit, walaupun trombositnya belum normal tapi saya tidak pingsan saat nonton konser Taylor Swift.

Di post-post sebelumnya juga saya pernah bercerita tentang teman-teman saya yang silih berganti. Emosi saya yang berkecamuk tentang lingkungan sosial dan air mata yang terus mengalir selama 2013-2015. Album Taylor Swift yang terakhir 1989 menjadi album yang pas untuk membuat saya bersih kembali, diawali dengan ‘Shake it off’, untuk membuat segala pikiran buruk, overthingking yang berlebihan dan rasa amarah yang saya lepaskan secara perlahan dan ‘Clean’ membersihkan itu semua. ‘Wonderland’ membuat saya terlahir kembali dengan perasaan dan sugesti yang baru bahwa kini saya harus hidup sehat dan lebih bahagia.


So, Taylor… look what you made me do

Komentar

Postingan Populer