Perjalanan Mendapatkan Magang

Pasti kalian sering banget dengar bahwa realita dan ekspektasi bedanya bisa jungkir balik banget. Rencana yang kita susun dengan kenyataan pun bisa lebih sulit dari yang kita duga. Dan peruntungan nggak akan selamanya melekat dengan kita. Lagi pula nama gue juga bukan Untung.

Cerita berawal dari gue yang sering berkawan dengan bintang keberuntungan ini. SMP, gue beruntung karena diberi kesempatan kedua, Papa yang baik, dan nilai yang memuaskan. Sampai akhirnya gue diterima di Sekolah Menengah Atas Negeri terkemuka di Jakarta Barat. Di SMA pun bernasib sama, gue lulus dengan baik dan mendapatkan undangan untuk masuk ke PTN yang masuk top 5 se-Indonesia dan paling gue inginkan. Kata sahabat gue, “Kenapa lo beruntung banget?” pada saat itu gue cuma mengangkat kedua bahu gue dan berpikir, "maybe, memang gue anak yang beruntung." Papa pun sering bilang gue begitu.

Sampai akhirnya di tahun terakhir gue di kampus, roda kehidupan gue berputar. Cahaya bintang keberuntungan gue meredup, dan dia mati. Gue dituntut untuk survive demi melanjutkan level hidup gue selanjutnya.

Gue kira, ketika gue memutuskan untuk magang sendiri itu akan lebih mudah. Karena bisa semau dan sesuka gue. Semua gue yang pegang kendali. But, it’s really hard. Trust me. Lo, harus nunggu berjam-jam hanya untuk bertemu dosen untuk menandatangani form satu, baru form satu loh itu. Terus mengejar, menunggu dosen berjam-jam lagi untuk form kedua, dan begitu seterusnya. Belum lagi lo cari perusahaan yang mau menerima lo jadi anak magang. Jurusan menentukkan posisi magang lo.

Awalnya gue mau masuk ke perusahaan tempat Papa kerja, beliau setuju, tapi ini benar-benar gue sendiri yang usaha, tanpa bantuan dia. Sampai akhirnya divisi yang gue inginkan ternyata tidak membuka magang. Hal tersebut nggak membuat gue nyrah, keesokannya gue cari aplikasi untuk cari lowongan magang. Gue harus mencari perusahaan lainnya.

Satu bulan kemudian gue diterima dan harus melakukan interview, sayangnya gue belum bisa kembali ke Jakarta, karena gue masih ada kuliah di Malang.
Dua minggu kemudian, ketika gue di Jakarta sebuah perusahaan branding memberi undangan interview di daerah Serpong. Itu menjadi interview pekerjaan pertama gue. Gue bingung harus pakai baju apa, sepatu apa, dan tas apa yang harus gue gunakan. Interview berjalan lancar. Gue lihat sekilas karyawan-karyawan yang sedang bekerja di perusahaan itu. Pakaian mereka santai, kerjanya pun nggak harus kaku, dan mereka menerapkan hari yang berbeda-beda. Pada hari gue interview, mereka sedang melakukan hari menggunakan bahasa Inggris, jadi seluruh karyawan yang ingin berkomunikasi wajib menggunakkan bahasa Inggris. Interview berjalan lancar dan gue melakukan kesalahan kecil di tes psikotes. Satu minggu kemudian, mereka memberi tahu gue, bahwa gue belum bisa diterima.

Satu bulan setelahnya, pencarian magang pun masih terus berlanjut sampai akhirnya gue dapat panggilan interview lagi di salah satu butik yang nggak pernah gue kenal. Pada saat itu sedang masuk bulan Ramadhan, interview gue berlangsung pada jam 3 sore. Jadi, dengan hati yang goyah dan pikiran yang tidak yakin gue berangkat naik kereta. Sampai di Stasiun Sudirman gue ragu, apa gue harus melanjutkan interview sedangkan pada saat itu sudah jam 3 dan kereta belum datang juga untuk menuju stasiun selanjutnya. Akhirnya gue memutuskan balik arah dan pulang.

Alasan gue tidak ikut interview adalah, gue nggak yakin dengan divisi yang mereka tawarkan, kedua gue sudah sangat terlambat, ketiga gue kurang yakin dengan perusahaannya.

(Ingat, kejadian itu jangan dilakukan ya. Sampai sekarang gue menyesal karena kembali lagi kerumah tanpa mencoba interview ke tempat itu.)

Dua minggu kemudian gue dapat panggilan interview di salah satu perusahaan konsultan bisnis terkemuka di Ibukota. Gue sudah prepare segala hal dari interview sebelumnya. Salah satu karyawan menyuruh gue menunggu di salah satu ruang meeting. Untuk membunuh rasa nervous, gue menghitung jumlah SKS dari nilai-nilai semester gue, sampai akhirnya seorang pria, tinggi, putih, dengan rambut pirang datang dan menyapa gue. Ekspresi pertama gue adalah mulut terbuka dan mata melotot tak percaya. “Are you sure, I will do the interview with him?” Hari itu adalah interview terburuk gue. Gue nggak prepare untuk interview dengan bahasa Inggris dan langsung dengan CEO perusahaan tersebut juga. Jadi, gue sudah memastikan gue gagal untuk perusahaan itu. Selama perjalanan pulang gue memperbaiki jawaban yang seharusnya gue ucapkan tadi. I feel so bad.

Tapi, gue nggak nyerah dengan interview tersebut. Sembari menunggu hasil interview yang gue sudah bisa prediksi jawabannya, gue kembali mencari tempat magang. Gue sempat melakukan interview lewat audio dan tes psikotes di sebuah aplikasi untuk melamar di Tokopedia.

Dua minggu setelahnya, sahabat gue memaksa untuk coba langsung datang ke Bank Indonesia dan memberi curriculum vitae (CV)  dan berkas magang. “Udah lo datengin aja semua perusahaan. Lo sebarin CV lo!”.

Hari Jumat yang gue lupa tanggalnya, pagi-pagi gue membelah macet bersama Papa untuk ke Bank Indonesia pusat yang ternyata tidak sedang menerima magang dan mengoper pengajuan magang gue ke BI di Juanda. Sebelum kesana, gue menyempatkan diri untuk menaruh CV ke Telkomsel Indonesia, karena salah satu temen gue merekomendasikan bahwa ada divisi yang gue cari sedang membuka magang. Setelah menaruh CV, teman gue yang kerja di perusahaan Papa memberi tahu bahwa gue bisa magang disana asal Papa yang bilang.

Jujur, itu keputusan yang sulit. Karena dari awal gue kuliah itu adalah keputusan gue sendiri. Dari gue ngurus data-data buat ikut SNMPTN, kegiatan di kampus, semua hal tentang kampus (kecuali UKT) itu gue yang atur dan biar menjadi kerja keras gue. Sampai akhirnya, karena gue punya waktu yang sangat sedikit dan lelah juga harus di tolak dan di PHP-in perusahaan. Gue akhirnya nyerah dan menyuruh papa untuk menelpon orang bagian People Departement. Setelah beberapa kali komunikasi akhirnya gue diterima di perusahaan itu dan harus mengisi beberapa formulir.

Seminggu setelah hari Jumat itu, Telkomsel menghubungi gue untuk magang di tempatnya. Sungguh itu pilihan sulit, luar biasa senangnya ketika salah satu hasil jerih payah akhirnya goal. Tapi karena sudah terlanjur taken contract dengan perusahaan tempat kerja Papa. Gue harus melepaskan jerih payah gue itu.

Selama proses mencari magang ini gue berpikir, betapa sulitnya survive untuk ke level selanjutnya. Pantesan aja kalo main game, semakin tinggi levelnya, semakin susah rintangannya, semakin susah juga untuk berhasilnya. Gue banyak belajar dari pengalaman gue ini, bahwa gue nggak bisa menyerah, gue nggak boleh negative thinking, optimis, berdoa, dan usaha.

Di part selanjutnya gue tetap membahas tentang magang, tapi ini lebih ke usaha minta izin ke sekolah. See you next chapter ☺

Komentar

Postingan Populer