My Life on The Plane

Saya sudah kenal pesawat selama 20 tahun hidup saya. Berawal dengan ketertarikan Bapaké di dunia mesin dan memilih untuk mengenal bagian tubuh pesawat sejak 22 tahun yang lalu.

Pada umur tiga tahun, saya bercita-cita ingin menjadi pramugari, agar saya selalu terbang dengan pesawat keliling dunia. Saat saya duduk di Sekolah Dasar, kecintaan saya dengan pesawat semakin bertambah. Saya ingin menjadi Pilot agar bisa duduk di kokpit dan pakai topi kebanggaan.

Tibalah diumur saya yang ke tujuh tahun. Pertama kalinya saya naik pesawat tanpa orang tua. Saat itu Bapaké masih kerja di airline terkemuka di Indonesia. Saya masih ingat, saat itu saya dikasih Rp. 20.000 untuk bayar tiket yang aslinya cuma pajak. Saya diantar Bapaké sampai pesawat dengan rute CGK-SUB. Beliau mengantar saya sampai tempat duduk di sebelah jendela. Beliau berpesan agar saya jangan mau menerima apapun dari orang asing dan tunggu temannya yang akan menjemput setelah saya keluar dari burung besi.

Sebelum pesawat take-off saya sudah tertidur, dengan mengetahui siapa saja yang duduk disebelah saya. Ada seorang business man dengan hp nokia communicator dan disebelahnya lagi ada bapak gembul yang juga sering tertidur seperti saya. Si business man ini ramah sama saya, dia bertanya "Kok berani naik pesawat sendiri?"

"Iya nanti dijemput nenek sama temen papa." jawab saya ragu-ragu. Saya langsung tertidur kembali dan ketika pesawat sudah berada di atas dan para pramugari sedang menyiapkan makanan dan minuman, Si business man ini membangunkan saya dengan perlahan dan menanyakan apa yang saya ingin makan atau minum. Sehabis itu saya tidur lagi, karena saya suka gampang banget bercerita, jadi saya mengalihkannya dengan tidur.

Sesampai di Bandar Udara Juanda, Sidoarjo. Saya segera turun untuk mencari teman Bapaké. Ternyata dia sudah menunggu dibawah dan segera membawa saya menuju gedung bandara dan menemani saya ambil koper. Sayangnya, saya terlalu excited dan segera berlari menuju pintu keluar dimana puluhan orang membawa papan nama untuk menjemput keluarga atau kerabat dan rekan kerja mereka. Saya mengedarkan pandangan untuk mencari nama saya, dan saya menemukannya di bagian sebelah kiri yang diangkat oleh kakek saya. Saya langsung menghambur kepelukan mereka dan teman Bapaké datang mengantarkan koper hello kitty saya.

Pengalaman itu yang membuat saya ingin terus terbang dan mengenal pesawat lewat Bapaké.

Kamis kemarin saya menonton film tentang pesawat yang berjudul "Sully". Diceritakan tentang sang kapten bernama Sully dengan Co-pilot melakukan pendaratan di sungai Hudson. Ketika sang kapten dan co-pilot pertama kali di ajak bertemu dengan NTSB dan langsung di judge bersalah karena melakukan pendaratan di air. Saya langsung kesal dengan orang-orang NTSB tersebut. Bapaké atau seorang engineer yang udah kenal badan pesawat luar dalem pun juga nggak akan bisa membuat keputusan dalam waktu beberapa detik seperti kapten Sully atau kapten Rozak yang mendaratkan pesawat di sungai Bengawan Solo.

Cerita mereka nggak membuat saya jadi takut naik pesawat. Padahal saya sedikit terkejut, karena selama saya naik pesawat dan membaca buku panduan yang ada di pesawat. Saya tahu kalau pendaratan di air lebih baik dan kemungkinan selamat 80%. Setelah menyaksikan "Sully" saya baru tau, kalau kemungkinan selamat itu lebih kecil dibandingkan dengan tidak selamat.

Ah... tapi saya tetap cinta dan menikmati untuk terbang dengan burung besi  lagi dan lagi. Melihat jutaan awan-awan dengan berbagai bentuk. Melihat bagaimana petir turun, hujan terjadi, dan pemandangan sebuah gugusan pulau dan kota-kota.

Mungkin kalau saya punya niat yang kuat untuk mempelajari pesawat dan menjadi pilot, mungkin saya akan mencari beasiswa untuk sekolah pilot. Sayangnya jadi Pilot itu susah banget, banyak yang harus dihapalkan, perhitungannya harus pasti, dan percaya dengan keputusan yang diambil.

Komentar

Postingan Populer