I Miss My "Lunch Box"
Malam ini di awal bulan Oktober, kepalaku rasanya ingin
meledak. Rasanya aku ingin teriak, mengeluarkan semua rasa yang tak karuan.
Terakhir kali aku seperti ini, ketika aku jatuh cinta, dan itu menyakitkan.
Kali ini aku tidak jatuh cinta. Aku juga tidak tau ada apa denganku?
Aku hanya merasa menyesal, marah, dan cemburu. Itu yang bisa
kurasakan dan tak bisa kujabarkan jelasnya. Dia sahabatku dan temanku. Aku
sering merasakan ini. Pernah aku hilang kendali dan meretakkan hubunganku dan
sahabatku.
Siang itu di restoran cepat saji, aku meminta maaf dengan
semua kata kasarku. Sebelumnya, aku sudah menyusun skenarioku perihal alasan
aku hilang kendali. Tapi, pada saat aku melihat matanya semuanya hilang. Aku
tidak mau semuanya jadi kacau dan dia pergi. Biarkan saja aku menyesal dan
meminta maaf. Nyatanya, itu salah. Aku malah memperburuk segalanya.
Malam ini… ah tepatnya malam kemarin. Aku merasa salah dari
awal, tidak seharusnya aku memendam ini semua. Tidak seharusnya aku menyalahkan
diriku sepenuhnya. Tidak seharusnya aku membiarkan yang salah menjadi salah,
dan kepercayaan yang menipis menjadi hilang.
Malam itu aku kembali pulang sendiri, menyesali segalanya.
Aku tidak menyadarinya, bahwa sahabatku tidak pernah menjadi dirinya saat
bersamaku. Aku tidak menyadarinya, bahwa mereka berdua menyimpan rahasia tanpa
ada aku di dalamnya. Aku tidak menyadarinya, bahwa aku tidak ada lagi di
tengah-tengah mereka. Tapi, aku menyadari satu hal pertemanan ini sudah tak
lagi sehat.
Kami pernah sempat membahas, perihal diriku yang menyendiri,
dan aku yang mengeluh mereka yang selalu terlihat akrab bagaikan kisah sahabat
yang selalu aku dambakan. Aku tidak tau, kenapa sahabatku tidak menyadarinya,
bahwa itulah diriku. Sifatku yang menyendiri, diriku yang menggemari dunia
khayal. Aku selalu seperti itu. Buku, film, perjalanan, dan musik.
Aku kira aku saja yang berubah. Aku menyalahkan diriku yang
berubah. Menyalahkan diriku, mengapa tidak bisa seperti mereka. Nyatanya
sahabatku juga berubah, dia jadi sering tertawa. Tertawa paling keras. Dia jadi
sering bercerita, cerita apapun bukan denganku. Dia bukan lagi gadis kecil yang
pendiam dan selalu duduk disebelah sahabatnya. Dia juga berubah, dan sialnya
aku tidak menyadari itu.
Seperti malam lainnya, ketika aku menyendiri dan bermain
dengan pikiran-pikiranku. Mengapa mereka tidak pernah bermain di kamarku?
Mengapa mereka tidak pernah menanggapi ceritaku tentang buku dan perjalanan?
Mengapa sahabatku tidak jadi dirinya sendiri saat diriku hadir di tengah-tengah
mereka? Terlalu banyak mengapa yang membuat kepalaku ingin meledak. Aku tidak
mau menangis. Aku tidak mau lagi merasa diriku yang salah sepenuhnya. Aku
berhak marah.
Aku rindu “kotak makan”.
Komentar