Bahagia di Dieng!



Kali ini saya melancong ke suatu daerah yang bernama dataran tinggi Dieng. Karena dia berada di dataran tinggi, otomatis suhunya juga bukan main. Bermodal cerita dari teman. Saya jauh-jauh hari mengajak kedua orang tua saya ke dataran tinggi yang cukup tersohor tersebut.

Dieng Culture Festival. Yupz, itu nama acara tersebut yang akan saya datangi oleh orang tua saya dan teman liputan saya, Titi. Kebetulan Titi juga mengajak teman-temannya kesana. Jadi kami janjian ketemu di Dieng. Karena Titi dan teman-temannya berangkat dari Surabaya. Sedangkan saya dan orang tua dari Jakarta.

Acara tersebut diselenggarakan selama tiga hari. Mulai dari 31 Juli – 2 Agustus. Acara yang diselenggarakan tidak hanya pemotongan rambut gembel anak, tapi ada beberapa acara yang membuat saya semakin excited untuk pergi kesana.

Hingga akhirnya rasa excited saya menurun, dikarenakan sebuah bencana yang buat saya malas untuk ikut acara itu. Saya sih udah was-was dari jauh-jauh hari, perihal mengajak orang tua saya ikut acara ini. Saya udah wanti-wanti dan tanya beberapa kali mengenai keyakinan mereka ikut serta dalam jalan-jalan saya kali ini. Dan mereka dengan mantap menjawab “YAA!”.

Tiket Dieng Culture Festival sudah di tangan, informasi penting pun sudah saya cari, penginapan sudah di pesan, hati pun juga sudah tenang. Satu bulan keberangkatan, papa saya mengundurkan diri untuk tidak ikut. Dengan berbagai alasanyang membuat saya tidak bisa ngambek dan membantah juga. Akhirnya saya mengikhlaskan beliau tidak ikut. Tapi, dengan kejadian papa saya yang mengundurkan diri tersebut, mama saya jadi bimbang. Di tambah urusan adik saya yang mau masuk SMK belum selesai-selesai hingga beberap minggu sebelum acara. Saya pun jadi ikut malas untuk melanjutkan rencana ini. Tapi, saya juga punya tugas meliput acara tersebut. Itu yang membuat kepala saya cukup cenat-cenut kaya lirik lagu boyband Indonesia yang sudah tenggelam.

Teman saya, Titi juga sudah mencecar saya dengan pertanyaan “Mbak Sky jadi ikut nggak?” “Sudah pesan travel belum?” dan lain sebagainya. Saya jadi tambah bingung dan malas untuk prepare kepergian saya ke Dieng ini.

Hingga akhirnya, orang tua saya merembukkan rencana ini dengan mama saya ikut. Saya sih biasa aja, karena apa pun yang dikatakan orang tua saya bukan janji. Saya sudah hidup bersama mereka selama 19 tahun. Benar adanya, H-2 sebelum keberangkatan kami semua kelabakan untuk booking tiket pesawat. Papa saya mengira, hanya saya saja yang berangkat. Dan lima belas menit setelahnya, ganti rencana ikut booking tiket pesawat untuk adik saya dan mama saya. Sampai akhirnya mama saya baca WhatsApp, beliau marah karena urusan sekolah adik saya belum kelar.

Akhirnya, malam sebelum keberangkatan mama saya juga ikut mengundurkan diri. Membuat saya juga jadi tidak ingin melanjutkan perjalanan ini. Dengan berat hati, saya packing asal-asalan yang penting pakaian, jaket, kaos kaki, obat-obatan sudah masuk. Karena saya packing asal-asalan, saya jadi melupakan hal-hal kecil yang ternyata amat penting, alat-alat mandi. Ya, saya melupakan sabun dan teman-temannya itu. Dan saya baru mengetahui hal itu, setelah sampai Jogja.

Saya akan berangkat dari Jakarta menggunakan pesawat menuju Jogja. Karena tiket pesawat sudah dipesan tanggal 30 juli, otomatis saya harus menginap dulu di Jogja. Empat jam sebelum keberangkatan tepatnya tanggal 30 Juli. Saya buru-buru mencari penginapan paling murah dekat bandara via online. Saya berpikir, dengan mencari penginapan dekat bandara akan memudahkan mobil travel menjemput saya nanti. Tapi, setelah mencari-cari info mobil travel di Jogja. Ternyata agen-agen travel di Jogja itu malah lokasinya jauh dari Bandara, dan lebih dekat di kotanya. Nasi sudah menjadi bubur, saya pun sudah terlanjur menjadi solo traveler.

Dengan modal nekat, saya langsung menyusun hal-hal apa saja yang akan saya lakukan dari Jogja menuju Dieng. Lalu apa yang akan saya lakukan di Dieng. Bagaimana saya mempertahankan diri saya seorang diri dalam perjalanan ini. Hingga akhirnya pulang kembali ke Jakarta dengan selamat.

“Kesederhanaan adalah kejujuran. Dan keberanian adalah ketulusan.’

Seperti kutipan di novel ‘Sunset Holiday’ yang menemani saya dalam perjalanan ini. Kalau Audy (salah satu tokoh Sunset Holiday) bisa melawan implusif-nya. So, Mechelin Dirgahayu Sky went implusive again!! Kenapa bisa again, karena dua tahun lalu. Saya juga dengan nekatnya, membawa teman saya ke Singapore tanpa persiapan yang mantap. Kami pergi ke Singapore tanpa mem-booking hotel dan saya pun lupa-lupa ingat dengan Negara kecil tersebut. Untungnya kami bisa sampai di Jakarta dengan selamat. (Kalian tau sendiri, Singapore itu terkenal dengan Negara yang banyak peraturan. Jadi, saya sangat bersyukur bisa keluar dari Negara itu)

Yupz, di Sunset Holiday. Audy dengan nekat melakukan euro trip seorang diri. Dan saya pun harus lebih nekat lagi, karena saya hanya pergi ke Dataran Tinggi Dieng, yang masih di Indonesia. Sahabat-sahabat saya sempat kaget, saat saya bilang saya nekat pergi sendiri.

Tanggal 31 Juli, dari Jogja saya naik travel menuju Wonosobo. Saya belum pernah menginjakkan kaki di Wonosobo, jadi saya buta sekali dengan daerah ini. Tapi, kata resepsionis di tempat menginap saya di Jogja, orang Wonosobo itu ramah-ramah. Dengan modal percaya diri dan sedikit nekat, mobil travel menurunkan saya di alun-alun kota Wonosobo dengan pesan “Kamu bisa tunggu di depan situ, nanti mikro busnya lewat”.

Dengan sedikit membenarkan letak tas ransel di punggung saya, saya jalan menuju apa yang pak supir travel bilang ke saya. Setelah menunggu lima menit, si mikro bus tak kunjung tiba. Sedangkan acara Dieng Culture Festival satu jam lagi akan dimulai. Saya tanya orang-orang sekitar, yang ternyata benar ramah dan nggak menipu saya dengan menyuruh saya naik angkutan umum-nya atau naik ojek-nya. Soalnya, kalau di kota-kota besar pasti seperti itu.

Sudah duduk nyamansaya sih duduk, di sekeliling saya ada yang selonjoran ada yang berdiri desek-desekkan. Titi sudah mengirimi saya pesan, dia akan menunggu saya di Candi Arjuna. Aduh, itu di mananya??

Setelah satu jam perjalanan dari Wonosobo menuju Dieng. Rombongan anak muda yang tadi bareng saya di mikro bus sudah menuju penukaran tiket, karena mereka camping ground. Sedangkan saya harus segera mencari letak homestay saya. Setelah nanya beberapa orang, nyasar beberapa kali, jalan beberapa ratus meter, menghabiskan waktu 40 menit. Homestay saya akhirnya terlihat, saya segera membersihkan diri dan langsung menukarkan tiket.

Karena saya beli tiket untuk tiga orang, jadilah saya menenteng tiga tas ransel serut. Saya langsung berniat untuk menghubungi Titi, tapi sinyal di smartphone pada hilang semua. Shoot!

Saya memutuskan untuk berkeliling dengan mata was-was mencari Titi yang katanya di Candi Arjuna. Coba kalau ada teman perjalanan, saya nggak akan hanya foto orang-orang, pemandangan, atau candi. Setidaknya teman perjalanan saya akan memfotokkan diri saya untuk kenang-kenangan. Puas berkeliling selama satu jam lebih, saya memutuskan untuk kembali ke penukaran tiket tadi sambil menunggu Titi dengan penuh harap dia lewat di depan saya.

Ah, syukurnya Tuhan langsung mengabulkan doa saya. Saya langsung bertemu Titi dengan ketiga temannya. Ada Hilda, Dica, dan Adit. Hilda dan Dica adalah teman SMAnya. Sedangkan Adit seniornya di EM. Saya langsung berbaur dengan mereka dan kembali ke komplek Candi Arjuna untuk menunggu acara Jazz Atas Awan yang akan diselenggarakan pukul 7 malam.

Sambil menunggu, kami duduk di sebuah warung yang menyediakan kentang goreng, pop mie, dan minum-minuman hangat. Ibu-ibunya ramah dan baik banget, dengan mengizinkan kami menunggu di warungnya.

Temannya Titi ada yang bilang “Kenapa itu anaknya pipinya merah?”

“Oh, kalau orang Dieng memang gitu. Sama aja deh kaya orang bule. Kalau kena sinar matahari kulitnya langsung merah.” Jelas sang ibu Warung.

Saya mencoba membunuh waktu dengan bertanya-tanya tentang Dieng, yang ternyata menghasilkan kentang lebih banyak dari pada daerah lainnya di Indonesia. Lalu bercerita tentang acara-acara Dieng Culture Festival tahun-tahun sebelumnya, yang ternyata tempat dan acaranya selalu berbeda-beda setiap tahunnya.

Saya juga coba mengakrabkan diri dengan teman-teman Titi, yang salah satunya adalah teman sahabat saya di kampusnya. Hilda ini ternyata teman sahabat saya, Sarah di UNAIR. Dunia memang sempit!

Jazz Atas Awan pun dimulai. Kami di beri masing-masing satu buah jagung dengan tungku untuk membakarnya. Kami segera mencari tempat yang nyaman untuk menyaksikan musik jazz dengan suhu 0. Tiba-tiba ada seorang lelaki ikut bergabung bersama kami. Dia juga datang dari Jakarta penasaran dengan acara ini. Seumur hidup, baru kali ini saya nonton Jazz, diatas awan pula. Ahhh… Achievement unlocked!!

When you want something, all the universe conpires in helping you to achive it!”

Setelah janjian dengan Titi dan teman-temannya, saya diharuskan bangun jam tiga. Setelah alarm kedua berbunyi, akhirnya saya pasrah dan bangun dalam keadaan membeku. Setelah lihat suhu ternyata -2˚. Tanpa menyentuh air kecuali minum, saya membawa tubuh beku saya keluar. Ahhh… ini sih makin tambah beku. Di luar masih sepi, dingin banget, dan gelap. saya merasa, mungkin hanya saya aja yang diluar jam segini. Karena memang di rundown, itu jam setengah empat. Setelah berjalan beberapa ratus meter saya bertemu dengan dua pria yang ternyata adalah pers yang juga kedapatan tugas meliput.

“Mas, saya bareng ke tempat meeting point ya?” tanya saya sambil merajuk. Karena saya tau, di sekitaran komplek candi Arjuna dan camping ground itu gelap gulita, dan saya nggak bawa senter.

Sesampainya di meeting point, saya langsung memesan kopi agar mata saya melek sekaligus menghangatkan tubuh saya. Beberapa menit berikutnya, Titi dan kedua sahabatnya datang.

“Mas Aditnya nggak mau ikut! Payah dia!” saya hanya mengangguk sambil menggigil. Sesungguhnya saya itu paling nggak suka dingin. Namanya juga penasaran dan iseng-iseng sekali seumur hidup. Lanjut!!

Saya, Titi, dan kedua sahabatnya beserta beberapa orang lainnya masuk kedalam kelompok dua untuk mendaki Bukit Pangonan. Dengan cahaya minim, udara yang semakin menusuk tulang, dan saya yang kurang olahraga sempat berhenti untuk menetralkan detak jantung yang terlalu cepat. Saking cepatnya, rasanya otak saya juga berdetak seirama dengan jantung. Hingga di perhentian kelima saya, saya merasa ingin turun saja. Kepala saya seperti mau meledak, jantung saya berdetak kencang bukan main. Titi dan kawan-kawannya sudah di depan dan saya duduk sendirian di tengah-tengah hutan.

Setelah mengistirahatkan diri saya lanjut lagi hingga menuju puncak. Luar biasa indahnya. Untung niat saya untuk turun, kalah dengan niat saya jauh-jauh kesini. Saya dengan teman-teman perjalanan saya mengambil tempat duduk paling depan menunggu sang fajar terbit.
The first time is usually scary. But, there’s always a first time-for everything
Rasanya nggak mau pulangudah naik capek-capek sampe ngos-ngosan gitu masa turun lagi. Dari yang tadinya ramai, menunggu matahari terbit. Sampai suasana mulai sepi dan matahari sudah terbit dengan sempurna, kami memutuskan untuk turun dan mencari makan. Ternyata, eh ternyata. Pemandangan saat turun tak kalah indahnya saat kami lihat sunrise tadi. Alhasil, kami melakukan photo session dengan beberapa pose selama satu jam baru memutuskan turun dan cari makan.

“Tiap kali ngelihat matahari terbit, rasanya seperti mendapatkan harapan baru, bahwa kemarin telah berlalu, dan hari yang baru akan dimulai”


Sorenya saya dan yang lain sudah janjian di warung yang pertama kali kami kunjungi di hari pertama. Saya langsung memesan kentang goreng dengan berbagai macam bumbu, sambil menunggu acara pelepasan lampion yang akan dimulai pukul 7 malam nanti. Sambil menunggu, tiba-tiba mas-mas yang ikut bergabung bersama kami saat acara Jazz Atas Awan ikut bergabung lagi di acara pelepasan lampion.

Setelah menyaksikan rubuhnya api unggun dan tarian obor, akhirnya kami semua mulai mengembangkan lampion kami masing-masing. Karena kami takut lampionnya rusak, jadi kami melakukan pelepasan lampion satu-persatu. Ada yang bertugas mengabadikan momen. Ada juga yang menyalakan api dan membantu mengembangkan lampion dengan hati-hati. Pertama Hilda yang kebagian untuk menerbangkan lampion. Setelah menunggu beberapa menit, sampai-sampai lampionnya jatuh lagi, akhirnya lampionnya berhasil terbang membawa doa dan harapan.

Selanjutnya Dica yang berhasil menerbangkan lampionnya yang penuh doa dan harapan. Kini giliran saya, dengan ragu-ragu saya mulai membeberkan lampion agar nanti bisa mengembang sempurna. Dibantu Adit yang bertugas menyalakan api. Saya menunggu lampion saya mengembang. Tapi, entah mengapa apinya malah semakin membesar dan menggosongkan bagian kanan badan lampion. Saya sudah pasrah dan tidak jadi membubuhkan doa dan harapan pada lampion itu. Karena, lampionnya sudah terlanjur terbakar.

Setelah Titi berhasil menerbangkan lampionnya, dengan harapan bisa datang lagi kesini bersama suami dan anaknya. Kini saya dipaksa untuk menerbangkan lampion lagi. Kebetulan saya kan dapat tiga lampion, jadi saya dengan keyakinan yang masih tersisa mencoba lagi dari awal. Lampion sudah mengembang, tapi lagi-lagi apinya terlalu besar. Berkobar kesana-kemari. Membuat saya was-was membakar tubuh lampion. Dengan keadaan yang sudah panik, saya coba melepaskan lampion itu perlahan-lahan. Ternyata, bagian kirinya sudah mulai gosong, membuat saya semakin panik.

“Gimana ini?”

“Nggak apa-apa mbak Sky. Coba apinya dibikin kecil dulu!”

“Eh…eh… itu yang sebelah sana gosong!!” saya semakin panik. Dan serombongan orang-orang yang saya temui di mikro bus dari Wonosobo – Dieng ikut memeriahkan kepanikan saya.

“Yah!! Yang sini juga gosong!”

Dengan kesal saya membiarkan lampion itu dipegang oleh Adit. Dan rombongan di belakang saya malah semakin riuh, karena api lampion saya semakin membara. Akhirnya saya mencoba meniup api itu agar padam berharap tidak membuat saya masuk Koran karena membuat acara Dieng Culture Festival ini kebakaran.

Setelah beberapa kali meniup, tapi api tak kunjung juga padam. Segerombolan di belakang malah semakin ramai menertawakan kelucuan saya yang sedang panik. Mereka malah menyanyikan saya lagu ‘Selamat Ulang Tahun’. Memang sih, saya baru ulang tahun lusa kemarin. Tapi, itu malah membuat saya susah memadamkan api ini. Karena saya tidak berhenti-hentinya tertawa. Ditambah, hidung saya pilek, dan saya sedang batuk. Setelah sekian lama api tak kunjung padam, akhirnya salah satu orang dari rombongan di belakang membantu saya memadamkan api. Dan akhirnya semua penonton yang menyaksikan acara tersebut bertepuk tangan dan bersorak riang. Saya tidak tau, kalau saya menjadi tontonan orang-orang di sekitaran kelompok saya. Saya jadi tidak sedih lagi dengan dua lampion saya yang gagal. Saya malah senang sekali, karena saya tidak sendirian. Saya bersama orang-orang yang bahagia.

“Karena bagi saya, kebahagiaan orang lain lebih penting dibandingkan kebahagiaan saya sendiri”

Keesokan paginya, saya, Titi, dan kedua sahabatnyaHilda dan Dica segera bersiap-siap menuju acara terakhir. Ritual pemotongan rambut anak gimbal. Ternyata acara dari ritual pemotongan rambut anak gimbal ini ada banyak. Mulai dari mengarak anak-anak tersebut keliling kampung, lalu ada acara keseniannya juga. Setelah itu baru di potong dengan menyerahkan begononya (atau yang lebih di kenal dengan keinginan anak berambut gimbal saat mau di potong). Setelah itu di akhiri pelarungan rambut-rambut gembel yang sudah di potong.

Acaranya cukup unik dan untungnya saya tidak jadi membatalkan niat saya untuk ke Dieng Culture Festival. Walaupun jadinya pergi seorang diri, tapi selama di Dieng hingga saya kembali ke Jogja saya tidak sendirian. Saya bahagia.

“Definisi dari bahagia adalah, dari seberapa banyak kalian bersyukur atas apa pun. Dan saat itulah kalian akan merasa bahagia”

Terima Kasih.

Nb: foto-fotonya bisa disaksikan di Instagram saya mechelindsky

Komentar

Postingan Populer