The End




Suara ketukan pintu menyadarkanku dari berpuluh-puluh buku yang masih harus aku tanda tangani lagi. Tidak ku sangka cerita konyolku ini bisa menjadi sebuah novel setelah satu tahun pembuatan, revisi hingga empat kali, dan penolakan dua kali. Kisah cinta Sasha dan Leo yang berbuah manis di akhir cerita novel. Sedangkan aku dan dia... mungkin dia sudah melupakanku.

"Siapa?"

Aku langsung menaruh pulpenku dan bergegas ke depan pintu. Tak kusangka tamuku malam ini adalah teman-teman semasa SMA-ku. Aku masuk kelas (Ilmu Pendidikan Budaya) IPB dan harus sekelas dengan orang-orang itu selam dua tahun berturut-turut.

"Ya ampun!! Ayo..ayoo.. silahkan masuk!" ucapku yang masih setengah terkejut dan senang karena setelah dua tahun tidak bertemu, mereka akhirnya mengunjungiku beramai-ramai.

Sebelum pintu tertutup, suara masa lalu terdengar kembali. Terdengar lebih berat dan sangat merindukkan. Jantungku seperti mau copot saat mendengarnya. Sedangkan diriku sedang taruhan dengan hatiku, bahwa itu bukan dia. Dan saat dia berdiri dengan tampilan yang beda di hadapanku, aku kalah taruhan dengan hatiku.

"Hai" sapanya yang membuat lamunanku buyar dan menggariskan senyuman di wajahku.

Untungnya Mama dan Tanteku sedang dirumah, jadi aku tidak kebingungan untuk menyambut teman-temanku. Dan saat aku menyajikan minuman, mataku berpapasan dengan pandangannya. Dia tersenyum, sedangkan aku masih ragu untuk membalas semua sikap ramahnya. Aku takut. Takut terluka untuk yang kedua kalinya.

            "So, ada rangka apa nih pada rame-rame main kerumah?" tanyaku kepada seluruh teman-temanku yang sudah duduk di tempat yang menurut mereka nyaman. Seperti biasa, yang grup populer akan bersama-sama, begitu seterusnya dengan grup yang lainnya.

"Kita kesini buat ngerayain hari spesial lo" ucap Uci

"Hari spesial? Hari ini gue nggak ulang tahun?" Ucapku masih merasa bingung dengan kehadiran mereka. Jelas saja, di semster terakhir atau mungkin di tahun terakhir masa SMA ku. Aku tidak lagi akrab dengan teman sekelasku. Aku lebih menghabiskan waktu dengan sahabat-sahabatku, mengobati sakit hatiku, dan bersaing dengannya.

"Jadi, kita kesini karena.... karena perilisan novel lo" ujar Uci diiringi dengan tepuk tangan yang lain, termasuk dirinya.

"Selamat ya. Nggak nyangka, temen sekelas kita bisa jadi penulis gini!" Ucap Liza

"Gue udah tau kok, kalo nanti lo bakal jadi penulis. Naskah yang sering lo tulis pas kelas 1 sma sudah membuktikan" tambah Wike.

            Tidak pernah terlintas di benakku, mereka akan mengetahui hal ini atau mungkin ada yang mau membelinya. Ternyata mereka tau, dan mereka semua bisa lengkap, benar-benar lengkap hanya untuk merayakan perilisan novel pertamaku.

"Makasih ya semuanya. Makasih buat semuanya" ucapku yang kini mulai terharu. Aku nggak pernah menyangka mereka akan merayakan hal ini. Sampai-sampai Wike masih ingat awal aku suka menulis.

"Ceritain tentang novelnya dong!" ujar Riska.

"Iya...iya…iya..." seru yang lain.

Setelah semua makanan dan minuman tersaji. Aku mempersiapkan diriku untuk memulai cerita lahirnya sang novel pertamaku. Aku memandangnya sebentar dan menarik nafas sedalam-dalamnya, dan dengan berat menghembuskannya.

"Jadi... novel ini aku buat setelah ujian nasional. Prosesnya lumayan cepet, sebelum masuk kuliah dah selesai. Sempet tanya-tanya ke Sarah buat bantu revisi dan sinopsis. Setelah itu revisi ulang dan kirim ke Grasindo. Dan setelah empat bulan, ternyata ditolak. Akhirnya revisi ulang lagi, dan kirim ke GagasMedia, dan… voila lahirlah!" jelasku yang membuat teman-temanku masih menyimak dan meminta lebih lanjut tentang novelku ini.

"Kalau ceritanya itu... pasti pengalam pribadi kan?" tanya Uci sambil menaik-naikkan kedua alisnya.

"Ceritanya... ya, 75% pengalaman pribadi. Kalau yang udah baca, tentang Sasha ketemu Ben pertama kali di stasiun MRT Changi Airport itu nyata. Sampai lupanya kartu imigrasi, dan kebodohan dalam membuka pintu. Setelah ketemu lagi sama Ben, itu fiksi" jelasku yang membuat beberapa orang mengangguk dan ada yang tersenyum.

"Terus kalau tokoh Leo nya?"

Aku terkejut bukan main saat dia yang sedang memegang gelas berisi sirup berwarna merah menanyakanku perihal tokoh Leo. Apa dia sudah membacanya?

"Ng... tokoh Leo ya? Hmm..." ucapku salah tingkah. Kini aku tidak berani menatapnya, mungkin aku tidak berani menatap semua teman-temanku, karena sekarang mereka menatapku ingin penjelasan lebih.

"Ng.. soal tokoh Leo... dia nyata, maksud aku dia teman sekelas kita. Dan Sashanya aku" jawabku yang membuat semua teman-temanku berfikir. Seperti mencari-cari siapa salah satu diantara anak cowok sekelas kami yang menjadi tokoh Leo.

"Loh kok nggak di makan sih makanannya? Ayo di makan! Nanti keburu dingin loh!" ucap Mama yang aku sangat berterima kasih dengan kehadirannya.

Selama teman-temanku makan, aku menjauh dari keramaian dan bersembunyi di kamar mandi. Menenangkan pikiranku yang kacau. Kenapa aku harus lari? Dia juga sudah jadi masa lalu, dan aku sudah melupakannya. Dengan mempersiapkan diri untuk kejujuran selanjutnya aku keluar kamar mandi. Dan tidak kusangka Dia sudah berdiri menyender dinding, masih dengan gelas yang berisi sirup merah.

"Hai" ucapku sambil menyunggingkan senyum.

"Itu aku kan?" tanyanya yang seketika mengurungkan niatku untuk segera pergi dari hadapannya. Awalnya aku ragu. Aku takut jika aku berani menatap matanya lagi, aku akan kembali jatuh hati, berharap, dan sakit hati. Dia yang menyadari diriku yang membisu, membuat dia bertanya lagi.

"Tokoh itu, Si Leo. Itu aku kan?" tanyanya sekali lagi yang aku balas dengan gelengan kepala membuat dirinya mengernyit.

"Bukan. Leo bukan kamu. Leo mencintai Sasha. Sedangkan kamu tidak mencintai aku" jawabku.

Dia masih termanggu di tempatnya, dan aku hanya tersenyum. Seperti bebanku selama dua tahun ini terangkat. Mungkin aku memang sudah melupakannya, tapi aku seperti masih membawa beban berat selama aku masih mendengar atau melihat namanya.

"Kamu mau ke kamar mandi?" Tanyaku yang sepertinya membuyarkan lamunanya. Dia hanya menggeleng dan mengekoriku kembali ke ruang tamu.

Dia hanya masa lalu yang inspiratif. dia sudah banyak menjadi ide dari cerpen, puisi, lagu, dan novelku. Aku tidak pernah menyesal pernah mengenalnya. Mungkin itu alasannya tuhan tidak memberikanku untuk membencinya. Rasa sakit yang aku alami hanyalah sebuah luka. Dan sekarang lukaku sudah sembuh, dan kini aku bisa berbuat banyak hal lagi.


 

 

Komentar

Postingan Populer