Pending Story

Di awal tahun ini saya ingin menceritakan sebuah kisah yang seharusnya menjadi kisah perjalanan yang terjadi dua tahun yang lalu full dengan itinerary. Kisah perjalanan itu menjadi tempat menarik yang saya kunjungi dan penuh drama. Berada di dua negara, empat kota, dan dua bahasa--sebenarnya satu, tapi yang satu bahasa tradisional dan yang satu modern.

Dua tahun yang lalu, lebih tepatnya tanggal 6 September 2014 saya pergi ke Makau, Shenzhen, Guangzhou, dan Hongkong. Seharusnya 10 hari itu menjadi hari-hari yang tak terlupakan. Sayangnya drama Ibu-ibu lebih membuat saya pelik, sampai-sampai baru hari ini saya bisa menceritakannya. Tidak hanya drama para Ibu-ibu, tapi budaya dan bahasa ibu kedua negara itu yang membuat saya ingin menyudahi perjalanan itu.

Suatu ketika di tengah perjalanan, di kota terakhir yang kami kunjungi, mama saya bertanya "Mau balik kesini lagi?". Dengan pasti tanpa harus berdebat dengan otak. Malah kayaknya secara reflek tanpa pertanyaan itu otak ketahui saya langsung menjawab, "Nggak!".

Mari saya jelaskan alasan-alasan diatas tadi. Semoga kalian yang membaca tidak ikut terbawa cerita yang pantas menjadi sebuah drama Korea. Saya sudah membayangkan perkumpulan Ibu-ibu yang biasanya menggosipkan teman lainnya yang nggak mau ikut aturan geng, akhirnya dijauhi oleh geng. Pasti yang pernah nonton drama Korea pernah menyaksikan sekumpulan Ibu-ibu yang menjelekkan teman lainnya saat si orang tidak ikut kumpul. Oke lanjut ke drama pertama.

Saat membuka mata di perjalanan yang melelahkan dari Jakarta - Kuala Lumpur transit selama 6 jam dan lanjut Kuala Lumpur - Hongkong. Tanggapan pertama saya adalah, perjalanan segini aja saya sudah mengeluh. Apalagi perjalanan Columbus mengelilingi dunia dengan kapal. Bandara Hongkong adalah bandara kedua setelah Changi, Singapore yang saya suka selama saya mengunjungi Bandara. Hari itu drama belum terjadi, karena Hongkong hanya menjadi tempat singgah untuk memulai perjalanan kami dan menjadi tempat kami mengakhiri perjalanan penuh drama ini.

Oh iya, dalam perjalanan ini saya yang paling muda dan masih single. Yang lainnya adalah Ibu-ibu rempong teman Mama saya. Mereka berempat teman satu geng di sebuah tempat senam. Dua diantaranya fasih dengan bahasa Mandarin, baik yang tradisional maupun modern. Sedangkan satunya hanya mengikuti ketiga yang lain, termasuk Mama saya yang netral.

Perjalanan kami dimulai di Makau. Kami menginap satu malam disana. Di kota itu kami masih baik-baik saja. Saya juga sudah mulai berbaur dengan para Ibu-ibu. Ada satu orang yang membawa sebuah DSLR dan saat itulah saya jatuh cinta dengan dunia foto dan memutuskan untuk mempunyai DSLR. Namanya Ibu Desy*, dia mengajari saya banyak hal tentang DSLR.

Di Makau juga yang membuat saya makan abon babi untuk yang pertama kali. Saya terlalu bersemangat untuk mencoba segala jenis kue yang di tawarkan di deretan toko dekat Ruin of St Paul. Kuenya enak, tapi nggak boleh lagi. Kalau lagi jadi haram, kalau nggak sengaja nggak apa-apa 😆.

Esok hari kami berpindah ke Daratan China. Visa kami di coret saat masuk ke Shenzhen. Saya buta dengan kota-kota di China, jadi saya hanya mengikuti itinerary para Ibu-ibu, dan sialnya itu neraka bagi saya. Shenzhen dan kota selanjutnya adalah pusatnya belanja. Katanya, barang-barang yang kita jumpai di kaki lima Bangkok dan di Tanah Abang itu datangnya dari Shenzhen dan Guangzhou. Alamak, hari pertama kami habiskan dengan berbelanja dan berbelanja.

Hari kedua di Shenzhen saya yang ambil alih. Kita pergi ke sebuah tempat wisata yang cukup terkenal di kota itu. Malamnya, Ibu-ibu tetap belok ke pasar yang kemarin dan saya memilih kembali ke hotel.

Setelah tiga hari kami habiskan di Shenzhen. Kami naik kereta cepat menuju Guangzhou. Sesampainya di Guangzhou betapa sedihnya Bahasa Inggris saya dianggap angin lalu. Sejauh saya mengeksplor Guangzhou, cukup banyak masyarakat sana yang tidak ramah, jorok, dan cinta dengan bahasa ibu nya. Mereka melayani tamu dengan tidak sopan. Menu main di lempar, tidak ada ramah-ramahnya, dan seperti nggak niat jualan. Beda dengan salah satu restoran ayam milik Korea Selatan yang cukup ramah dalam melayani tamunya. Ahh, saya ingin lagi mengunjungi restoran itu. By the way restoran ayam itu menjadi salah satu sponsor di drama korea 'My Love From The Star'.

Hari-hari di Guangzhou para Ibu-ibu mulai lelah dengan perjalanan dan pikiran pun semakin tidak fokus. Ada kata-kata yang seharusnya tak boleh keluar. Ada hati yang terlalu sensitif. Dan ada ego yang terlalu tinggi, membuat perjalanan ini menjadi semakin panas di otak saya. Di hari kedua, suasana semakin memanas. Sudah terjadi dua kubu dalam perjalanan ini. Si Ibu yang mengajari saya DSLR terlalu bawa perasaan yang memilih kembali ke hotel lebih awal. Karena yang lainnya masih ingin melanjutkan berbelanja, saya ikut kembali ke hotel dengan Si ibu yang baper.

Si Ibu bercerita panjang lebar dengan saya mengenai rasa kesalnya dengan temannya yang lain. Dia bercerita panjang lebar dan saya terlalu lelah dengan drama mereka. Makanya dari dulu saya nggak pernah mau ikut geng, pasti punya drama yang sama seperti ini.

Setelah mandi dan istirahat sebentar saya segera menemui yang lainnya dan meninggalkan Si Ibu yang lagi kesal di hotel. Perkataan terakhirnya sempat membuat saya gusar. Masalahnya ia bilang ingin langsung ke Hongkong tanpa menunggu yang lain.

Jadi, saat saya menemui yang lain, saya menyampaikan pesan itu. Kalian mau tau apa tanggapan yang lain? Ngomongin temennya yang satu dan pas sampe Hongkong senyum-senyum lagi, seperti di hari pertama perjalanan kami. Mungkin masalahnya ditinggal di Guangzhou.

Di Hongkong drama yang membuat saya stres belum selesai. Si Ibu Baper itu punya keluarga di Hongkong jadi dia memang masih menyimpan sedikit kekesalannya dengan membiarkan kami mengelilingi Hongkong sendirian di hari pertama di kota itu. Saat itu saya sudah lelah, saya sudah tidak kuat mengurusi ingin nya para Ibu-ibu. Sampai-sampai saya harus menepi duduk di Avenue of Stars.

Sayangnya terik matahari dan perut saya yang dilep, bukan lah akhir dari hari sial saya. Saya harus bertemu dengan turis antah berantah yang mengajak saya untuk pergi ke club dan melakukan hal yang tidak mungkin saya lakukan. Arghhh, biarkan saya menjelaskanya seperti itu. Peristiwa itu masih jadi nomor satu dalam peristiwa menjengkelkan dalam hidup saya. Di tengah perut saya yang seperti memblender beling, saya harus putar otak agar terbebas dari orang itu. Saat itu juga saya membawa para Ibu-ibu pergi dari tempat itu.

Hari kedua di Hongkong menjadi hari yang saya tunggu-tunggu. Sayang, drama Ibu-ibu masih berlanjut. Dua diantara Ibu-ibu itu memilih untuk tidak masuk ke Disney land, termasuk Mama saya. Sedangkan dua yang lain, termasuk Si Ibu Baper masuk ke dalam dengan saya. Saya langsung memisahkan diri dengan berjanji akan kembali cepat. Kalian tau, betapa saya nggak mau pergi dari tempat itu. Ini impian saya sejak kecil untuk pergi ke Disney, bahkan saya ingin punya satu dress milik Princess Ariel untuk saya gunakan selama naik wahana di Disney land.

Hal menyebalkan selanjutnya adalah, saya di SMS satu jam sekali, dan untuk membalas SMS mereka akan memakan lima ribu saya per SMS. Jadi, saya memilih membiarkan SMS itu dan mengelilingi Disney land sesuka hati saya seorang diri. Menyebalkannya lagi, mama saya sudah mencari saya untuk segera keluar dari Disney land. Padahal saya menunggu waktu ini selama 18 tahun hidup saya yang harusnya saya habiskan selama seharian penuh di tempat ini. Jadi, saya menghentakkan kaki saya menuju pintu keluar dan membuat drama baru dengan mama saya.

Ya, saya melakukan demo nggak mau bicara The rest of the trip. Jadi, biarin aja pulang pada nyasar, saya nggak mau kasih tau jalannya.

Sampai di pengunjung perjalanan, masalah tak kunjung usai. Di imigrasi, koper saya dibongkar tanpa alasan. Saya bertanya, "What's wrong? Anything problem with my bag?" dengan wajah super panik. Masalahnya isinya awul-awulan semua pakaian kotor saya masukkan. Mereka tak langsung membalas, malah ngomong pakai bahasa ibu. Ingin saya teriaki "Bodoh!" tapi, tak jadi setelah salah satu teman mama saya yang namanya Ibu Rini* membantu saya dengan bahasa Mandarin. Setelah dibongkar, ternyata mereka tidak menemukan apa-apa. Lagian mereka nggak spesifik apa yang mau dicari atau di gledah. Bikin rese!

Setelah duduk tenang di ruang tunggu. Saya langsung kembali ke Malang lewat Surabaya. Sedangkan mama dan teman-temannya balik ke Jakarta.

Huaa... masalah datang lagi ketika saya mendarat di Juanda. Paspor dan koper saya lagi-lagi di periksa oleh petugas imigrasi. Saya ditanya macam-macam, sampai paspor saya harus di scanning dahulu. Ternyata setelah saya lapor Bapaké, hal itu dikarenakan saya pergi lewat Jakarta dan kembali lewat Surabaya. Tetapi yang bikin jengkelin adalah mereka mengacak-acak koper tanpa membantu mengembalikannya 😠.

Next time, saya akan cerita lagi drama perjalanan saya. See you in another journey.

Note:
* nama samaran. Soalnya mama saya nggak temenan lagi dengan Ibu-ibu itu, jadi saya nggak bisa tanya langsung untuk mencantumkan nama mereka.

Komentar

Postingan Populer